MANUSIA-MANUSIA BARU
Oleh : Adi (Mr.149) Santoso
Tak
dapat dipungkiri lagi bahwa semua manusia yang hidup di dunia ini mendambakan
untuk dapat hidup sejahtera sehingga dapat memenuhi setiap kebutuhan hidupnya.
Salah satu jalan yang ditempuh adalah melalui peningkatan ekonomi. Peningkatan
ekonomi sendiri selalu identik dengan pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya
alam (SDA) yang selanjutnya di ubah menjadi berbagai barang atau jasa yang
diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Hal itu jelas tertuang dalam
Firman Allah: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa
yang kamu mohonkan kepadanya…. (Qs. Ibrahim: 34)”. Untuk menggenjot laju
peningkatan pertumbuhan ekonomi, ekstraksi sumber daya alam dan lingkungan
dilakukan secara eksploitatif. Namun, hal yang sering terlupakan adalah bahwa
sumber daya alam dan lingkungan bersifat terbatas. Sementara, aktivitas ekonomi
bersifat tidak terbatas. Sumber daya alam dan lingkungan sudah terlanjur
dianggap sebagai barang milik bersama, sehingga siapapun boleh memilikinya.
Awalnya
manusia hanya menggambil dan menggunakan SDA hanya sebatas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri, akan tetapi kini manusia seakan telah buta. Mereka
hanya melihat jumlah profit yang akan mereka peroleh, namun tak pernah
memperhitungkan nilai-nilai keseimbangan alam. Seiring itu pula, ekstraksi
sumber daya alam yang berlebihan ini berdampak pada perubahan fungsi ekosistem.
Keberlanjutan sumber daya alam dan fungsi pelayanan lingkungan semakin
terancam. Sumber daya alam dan jasa lingkungan semakin langka. Padahal Allah telah
berfirman: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan(QS. Al A’raf: 31).
Peningkatan
ekonomi ini bagaikan dua sisi mata pisau, disatu sisi sangat dibutuhkan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, namun di sisi lain dapat membunuh manusia jika
digunakan tidak semestinya. Dampak positif dari peningkatan ekonomi ini sudah
pasti adalah berbagai barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah berbagai
bencana yang nantinya dapat mengancam eksistensi manusia di muka bumi ini, dan
hal ini pun telah dengan tegas diperingatkan oleh Allah: “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(QS
Ar-Rum: 41).
Selain
kerusakan akibat eksploitasi yang berlebihan, masih ada dampak negatife lainnya
yang timbul karena tingginya aktivitas industrialisasi, misalnya pencemaran
akibat pembuangan limbah industri. Limbah industri ini tidak hanya mencemari di
darat saja, tetapi telah mengalir menyusuri sungai, sebagian meresap ke dalam
tanah dan sebagian yang lain mengalir sampai ke laut dan mencemari seisi
lautan, sedangkan yang lain menguap terbang ke angkasa menerobos dan merusak
perisai penahan Ultraviolet (UV) yang selama ini melindungi kita yaitu lapisan
Ozone (O3). Hal ini tentu tidak lepas dengan kemajuan teknologi saat
ini, dimana hal itu dimulai dengan penemuan mesin uap
oleh James Watt menciptakan revolusi besar dalam pola perekonomian. Revolusi
industri menjadi tonggak awal percepatan pembangunan ekonomi. Industri dengan
tenaga manusia dan hewan berganti dengan mesin-mesin, sehingga produksi semakin
pesat. Di sisi lain, peningkatan produksi membutuhkan jumlah sumber daya alam
yang banyak. Dampaknya tidak hanya peningkatan nilai ekonomi, tetapi pemenuhan
bahan baku industri untuk “menyuapi” mesin-mesin produksi tidak bisa dihindari.
Laju eksploitasi berlangsung secara berlebihan. Akibatnya, kerusakan dan
pencemaran lingkungan marak terjadi di mana-mana. Laju kerusakan lingkungan
bagaikan Valentino Rossi dengan tunganan bernomor 46 miliknya. Sementara laju
recovery lingkungan bagaikan kakek-kakek pincang dengan tongkat usangnya.
Namun semua ini sudah terjadi dan tak perlu disesali, yang
terpenting sekarang ini adalah bagaimana meminimalisir laju kerusakan yang ada
dan meningkatan laju recovery terhadap kerusakan yang sudah ada. Mungkin kita
bisa mengikuti filosofi hidup kupu-kupu, dimana ketika ia muda (ulat) ia
merupakan perusak alam, ai menggerogoti dedaunan hijau tanpa memperhatikan akan
dampak yang akan timbul terhadap pohon tempat ia makan, namun dengan
introspeksi diri sesaat di dalam kepompong ia dapat berubah menjadi kupu-kupu
nan cantik yang di tunggu oleh bunga-bunga, ia membantu proses penyerbukan, ia
membantu pohon yang dulunya ia rusak. Akan tetapi jangan mengikuti fase
kupu-kupu yang selanjutnya, dimana selanjutnya ia tetap melahirkan keturunan
yang merusak lagi. Jadi mulai sekarang berfikirlah sejenak, renungi semua
kesalahan yang telah diperbuat, lalu berubahlah menjadi “manusia-manusia baru”
yang lebih menghargai alam. Selain itu, “manusia-manusia baru” ini juga harus
membentuk generasi penerusnya agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang
sama yang pernah kita lakukan di masa yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar