Sabtu, 06 April 2013

Anehnya Pangan di Negeriku Indonesia

Oleh : Adi Santoso 
05/04/2013

Pangan merupakan sektor yang urgen di dalam perpolitikan modern, kerena pangan kini dapat digunakan sebagai senjata di dalam perang modern. Hal ini tentu sangat mungkin, terlebih di tengah keadaan pangan yang penuh kerawanan, tidak hanya di Indonesia tetapi merupakan masalah yang dialami hampir di seluruh penjuru dunia. Bank Dunia menyatakan bahwa saat ini masih ada 850 juta jiwa yang masih mengalami kerawanan pangan. Selain itu, di Indonesia sendiri juga masih memiliki potensi kerawanan pangan yang relatif tinggi khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur, diantaranya adalah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, serta beberapa wilayah disekitarnya. Wilayah-wilayah tersebut tergolong di dalam zona merah, yang merupakan zona defisit pangan.
Kerawanan pangan yang terjadi di Indonesia cukup unik, mengingat banyaknya sumberdaya alam yang ada di Indonesia. Rasanya akan sulit membayangkan Indonesia merupakan negara rawan pangan. Tanah yang digadang-gadang sebagai tanah surga, dimana tongkat kayu dan batu saja bisa tumbuh menjadi tanaman, ternyata masih dihantui dengan kerawanan pangan. Yang cukup mencengangkan lagi kerawanan pangan umumnya terjadi di wilayah pedesaan yang seharusnya menjadi sentra produksi pangan. Bahkan menurut BPS (Juli 2010), proporsi angka kemiskinan di pedesaan naik dari 63,35% menjadi 64,23%. Sunggu sangat ironis, ada ayam yang terancam kelaparan di dalam lumbung padi.
Apabila berkaca dari keadaan sosial yang nampak pada masyarakat kita, maka konsepsi Ketahanan Pangan, tidaklah cukup hanya disampaikan sebagai konsepsi dan pelengkap isi perundang-undangan bangsa ini. Ketahanan Pangan sudah waktunya untuk dijadikan sebagai agenda utama bangsa ini dan bukan lagi sebagai komoditas politik bagi kepentingan golongan-golongan elit.
Di dalam UU No. 7/1996 tentang pangan, telah dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.  Untaian kata di dalam UU tersebut sangat luarbiasa, akan tetapi itu menjadi tidak bermakna ketika kenyataan berkata lain, dan usaha untuk ke arah itu hanya menjadi janji politis.
Pada dasarnya, program-progam kerja yang telah disusun oleh kementrian pertanian sudah sangat luar biasa, mengingat di dalam kementrian pertanian jumlah ahli di bidang pertanian juga sangat banyak. Namun yang menjadi masalah adalah aplikasi dan respon di daerah masih sangat kurang, bahkan keberadaan dinas-dinas terkait yang ada di daerah hanya sebatas pelengkap birokrasi, bukan saranan perpanjangan tangan dari pusat ke daerah. Belum adanya sistem kolektifkolegial antara pusat dan daerah inilah yang disinyalir menjadi salah satu penyebab jalan ditempatnya program-program yang sejatinya luarbiasa tersebut. Kenyataan ini merupakan salah satu konsekuensi dari diberlakukannya otonomi daerah, dimana daerah memiliki kuasa penuh terhadap pengelolaan kekayaan wilayahnya. Terlepas dari kenyataan itu, kita masih patut untuk bersyukur, karena masih ada daerah yang masih dapat menjalankan amanah, sehingga beberapa program kerja masih dapat dijalankan.
Apabila kita menilik UU No. 7/1996 tentang pangan, maka ada 5 indikator terwujudnya ketahanan pangan yang dapat kita lihat. Kelima indikator tersebut antara lain adalah; 1. Tersediannya pangan dengan jumlah yang cukup; 2. Pangan yang tersedia memiliki kualitas atau mutu yang baik; 3. Pangan yang tersedia merupakan pangan yang aman untuk dikonsumsi; 4. Pangan yang tersedia tersebar merata di seluruh pelosok negeri; 5. Pangan yang tersedia dapat terjangkau oleh daya beli yang dimiliki semua lini masyarakat. Sungguh sangat ironis, karena rasanya masih banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia, mengingat dari kelima indikator tersebut, tidak satupun yang telah terwujud di bumi Indonesia ini.
Kini sudah saatnya kita memulai perubahan, meskipun tantangan yang harus dilalui juga cukup berat mengingat banyaknya masalah yang dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari ketergantungan yang besar terhadap pangan berbasis beras, tingginya angka impor di berbagai komoditas pertanian, tingginya angka alih fungsi lahan pertanian, semakin kuatnya konspirasi diantara para mafia dengan para pemegang kebijakan, serta segudang masalah lainnya. Namun kita tetap optimis karena bangsa ini telah terlahir sebagai bangsa yang besar, maka bukan tidak mungkin akan tumbuh menjadi bangsa yang jauh kebih besar ketika fase-fase sulit ini telah terlewati, dengan ijin Allah semua itu akan dapat kita wujudkan, tidak hanya sebatas ketahanan pangan, tetapi kita bisa menjadi lumbung pangan dunia, sehingga tidak lagi dikendalikan oleh dunia tetapi kita justru akan menjadi pemegang kendali dunia.

Kamis, 04 April 2013

Wanita Idaman Adi Santos Calon Ahli Pangan ^_^

Kriteria wanita idaman seorang calon ahli pangan itu antara lain adalah:
1. Beragama Islam dengan keimanan yang stabil karena memiliki buffer/larutan penyangga yang mampu menyangga kesetabilan keimanannya.
2. Tidak neko-neko, sederhana, sehat, dan alami seperti makanan tradisional
3. 100% Cewek, tidak memiliki sifat amfotir maupun zwiter ion
4. Manis alami tanpa pemanis buatan
5. Kulit putih tanpa tambahan bahan pemutih
6. Rambut lurus, panjang, dan hitam namun tidak mengandung pewarna sintetis
7. Badan ideal, rendah lemak dan kolesterol namun kaya akan protein
8. Tinggi badan semampai meskipun tidak menggunakan hormon giberelin atau auksin
9. Kaya akan Beta-karoten (β-carotene) sehingga nyaman dipandang mata
10. Dapat menjadi antioksidan yang menjaga pasangan dari pengaruh negatif radikal bebas yang ada di lingkungan sekitar
11. Mampu menjaga kehormatan dirinya ketika ditinggalkan meskipun tanpa adanya tambahan bahan pengawet
12. Mampu mengemas dirinya sesuai standard Islam, serta aseptis, sehingga terjaga dari kontaminan yang dapat merusak dirinya, namun tetap menarik bagi pasangannya...