Senin, 18 Juni 2012

Makalah kandungan antibiotik dalam pangan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
  Pangan hewani  sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein  yang sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya.  Namun demikian, pangan hewani yang tidak aman (tercemar oleh mikroba maupun bahan kimia)  akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia (Bahri, dkk., 2005).
  Antibiotika seperti tetrasiklin secara luas digunakan dalam dunia peternakan baik untuk pengobatan,  pencegahan penyakit  maupun sebagai tambahan dalam pakan yang mendorong pertumbuhan pada ternak (Botsoglou  dan  Fletouris, 2001). Hampir semua pabrik pakan menambahkan senyawa obat berupa antibiotik ke dalam ransum jadi (Bahri, 2008).  Pengaruh pemberian antibiotik  yang menguntungkan disebabkan oleh adanya faktor pengendali infeksi subklinis.
Antibiotik juga mampu meningkatkan digesti pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab terhadap produksi gas di lambung  (Soeparno, 1998). Hal ini  diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa sebagian besar sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang dan Bekasi positif mengandung antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida (Bahri, 2008).
  Pemakaian obat-obatan  yang tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong, tentu akan menyebabkan obat tertinggal di dalam jaringan/organ tubuh yang selanjutnya disebut sebagai residu yang kemudian terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Adapun  waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987). Menurut SNI 01-6366-2000, BMR antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging dan susu tidak boleh melebihi 100 ppb. Hasil penelitian pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa menunjukkan bahwa pada daging, telur, dan susu ditemukan residu antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamida (Bahri, 2008).  
Oleh karena itu, penyusun ingin menyampaikan mengenai berbagai macam informasi mengenai antibiotik dan sederet dampak buruknya apabila mengkontaminasi bahan makanan dalam bentuk residu.

1.2      Tujuan
a.    Mengetahui definisi dari antibiotik
b.    Mengetahui fungsi dari antibiotik
c.    Mengetahui pengaruh antibiotik di dalam bahan makanan



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Sejarah Antibiotik
Antibiotik (antibiotika) adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroba lain. Antibiotik ini ternyata berasal dari bakteri yang dilemahkan. Penisilin menjadi antibiotika pertama yang ditemukan di kawasan Britania raya (Inggris) oleh seorang dokter bernama Sir Alexander Fleming (1881-1955), lahir di Lochfield, Skotlandia, 6 Agustus 1881. Beliau menemukan Penisilin, sejenis bakteri yang berfungsi melawan bakteri berbahaya yang terdapat di dalam tubuh manusia. Pasien pertama yang pernah merasakan khasiat temuan Fleming adalah mantan perdana menteri Inggris, Winston Churchill.
Fleming menyelesaikan sekolahnya di Louden Moor School, Darvel School, dan Akademi Kilmarnock dan akhirnya meneruskan kuliahnya di Politeknik. Dia sempat bekerja di kantor pelayaran sebelum masuk ke Fakultas Kedokteran St. Mary’s, Universitas London. Bersama pembimbingnya di St. Mary’s, Sir Almroth Wright, Fleming mulai melakukan penelitian di tahun 1906. Pada tahun 1914 Fleming berhasil menamatkan gelar sarjananya di kampus St. Mary’s.
Di tahun 1928, Fleming melakukan penelitian pada gerakan alami bakteri dalam darah dan antiseptik. Hingga suatu hari ia menemukan substansi bakteri yang ia teliti ternyata tidak dapat meracuni jaringan hewan.
Sebutan “penisilin” juga dapat digunakan untuk menyebut anggota spesifik dari kelompok penisilin.
Fleming yang sudah bergelar sarjana menemukan jaringan dan sekresi pada tahun itu. Ia menyebutnya lyzozyme – subtansi penting dalam bakteri. Secara tidak sengaja saat meneliti virus flu, dia menemukan bercak pada lempengan Staphylococcus membentuk lingkaran “anti bakteri” di sekeliling virus itu. Hal itulah yang mengilhami Fleming untuk meneliti lebih lanjut bahwa substansi itu mencegah pertumbuhan Staphylococci, walaupun diencerkan 800 kali. Akhirnya Fleming menyebut substansi aktif itu sebagai penisilin. Saking efektifnya, penisilin terus dikembangkan hingga menghasilkan terobosan baru dengan hadirnya produk antibiotik yang menyeimbangi penisilin. Hasil penemuannya semakin berguna saat perang dunia I berlangsung. Tentara yang terlibat perang terluka karena terjangkit bakteri yang kemudian diberikan antibiotik.
2.2     Definisi Antibiotika
Antibiotika dikenal sebagai agen antimikroba, adalah obat yang melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada tahun l927, Alexander Fleming menemukan antibiotika penama yaitu penisilin. Setelah penggunaan antibiotika pextama di tahun 1940-an, mereka mengubah perawatan medis dan secara dramatis mengurangi penyakit dan kematian dari penyakit menular. Istilah "antibiotik" awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikreorganisme lain yang membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Beberapa antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan oleh mikroorganisme) yang juga dapat membunuh atau menghambat pextumbuhan bakteri. Secara teknis, istilah "agen antibakteri" mengacu pada kedua senyawa alami dan sintetis, akan tetapi banyak orang menggunakan kata "antibiotika" untuk merujuk kepada keduanya. Meskipun antibiotika memiliki banyak manfaat, tetapi penggunaannya telah berkontribusi tehadap terjadinya resistensi. (Katzung, 2007).
Orang yang pertama kali mempelajari antibiotika secara sistematis adalah Gratia dan Dath (1924) dengan ditemukannya actinumycezin yang berasal dari Actinvmycetes. Sampai sekarang sudah banyak ditemukan beribu-ribu antibiotik, tetapi tidak semua dapat digunakan dalam pengobatan. Hal ini terjadi karena bakteri mengalami mutasi yang terjadi karena pengobatan yang dilakukan tidak dengan semestinya (Indan, E., 2003)
Satu jenis antibiotik biasanya hanya ampuh untuk satu kelompok kuman tertentu, tetapi tidak untuk kuman yang lain. Tetapi ada pula antibiotik yang dapat niembunuh berbagai kelompok kuman. Penggunaan antibiotik sembarang dapat menimbulkan terjadinya resistensi pada kuman, artinya antibiotik yang dipakai menjadi tidak ampuh lagi dan kuman menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut (Anoninm, 2003) .
Antibiotik ada yang mempunyai spectrum luas, artinya antibiotika yang efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiral. Ada juga antibiotika berspektrum sempit, artinya hanya efektif digunakan untuk spesies tertentu. Sebelum antibiotika digunakan untuk keperluan pengobatan penyakit-penyakit infeksi, maka terlebih dahulu diuji efeknya terhadap spesies bakteri tertentu. (lndan, E., 2003)
Antibiotik mempunyai ciri-ciri: Menghambat atau membunuh pathogen tanpa merusak inang (host), bersifat bakterisida dan bukan bakteriostatik, tidak menyebabkan resistensi pada kuman pathogen, berspektrum luas, tidak bersifat alergenik, tetap aktif dalam plasma, cairan badan, atau eksudat, larut di dalam air sena stabil, tidak mengganggu keseimbangan flora normal dari inang sampai flora usus atau flora kulit. (Lud, W., 2005) ldealnya zat-zat antibiotik harus mempunyai sifat- sifat sebagai berikut : harus mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikrobia pathogen spesifik, tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk resisten parasit, tidak menimbulkan efek samping, seperti alergi, kerusakan syarai iritasi pada ginjal dan saluran gastrointestinalis, tidak melenyapkan flora normal pada hospesnya, harus dapat diberikan secara oral atau suntikan, mempunyai taraf kelarutan yang tinggi dalam zat alir tubuh, konsentrasi antibiotik di dalam jaringan atau darah harus dalam jumlah yang cukup tinggi. (PR Murray., 1995)
Pemilih terapi antibiotika yang rasional harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain faktor pasien, bakteri dan antibiotika. Terapi empiris diarahkan pada bakteri yang dikenal menyebabkan infeksi yang bersangkutan. (Dipiro et al., 2005).
2.3     Residu Antibiotik
 Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotik tersebut,  sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered parent drug), metabolit dan/atau konjugat lainnya.  Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang/tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik (Haagsma 1988).  Sesuai dengan petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan.
Antibiotik yang diberikan pada hewan ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh.  Interaksi tersebut  dibedakan menjadi dua macam yaitu (1)  aksi antibiotik terhadap tubuh yang diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara tubuh menangani senyawa eksogen.  Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh setelah diabsorbsi.  Umumnya antibiotik bersifat mudah larut dalam lemak dan dapat dengan mudah melewati membran-membran sel atau jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk ke hati dan ginjal (Murtidjo 2007).  Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses biotransformasi dan eliminasi yang berlangsung lama sehingga pada waktu pemotongan jika antibiotik yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk metabolit atau bahan aktifnya terdapat  di dalam produk hewan ternak yaitu daging, hati, ginjal, dan paru-paru.  Timbunan dari senyawa atau metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat menyebabkan residu (Siregar 1990).
Keberadaan residu antibiotik dalam  produk hewani diakibatkan oleh beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan  dampak pada kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi produk pangan  asal hewan yang mengandung residu antibiotik, (4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif (Lukman 1994; Donkor et al. 2011).  
2.4 Jenis Antibiotik yang Digunakan
Menurut Ganiswarna  et al. (1995) dan Kennedy  et al. (1998), antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi baik secara alami maupun buatan (sintetik) yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain.  Berdasarkan sifat toksisitas selektif ada antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal sebagai aktivitas bakterisidal (Ganiswara  et al. 1995).  Menurut Reig dan Toldra (2009), antibiotik dibagi menjadi sembilan golongan tetapi yang sering digunakan dalam bidang peternakan ada lima golongan yaitu: 
1.  Sulfonamida
Antibiotik ini merupakan turunan  dari sulfanilamid.  Sulfonamida merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif.  Mekanisme kerja dari antibiotik ini adalah menghambat sintesis DNA bakteri.   Antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri.  Jenis antibiotik yang banyak digunakan dari golongan sulfonamida adalah sulfametazin. Menurut Dixon (2001) yang diacu dalam Reig dan Toldra (2009), sulfametazin digunakan untuk hewan  karena harganya murah, cara memperolehnya mudah, dan tingkat efisiensi tinggi.Golongan sulfonamida yang terdiri dari sulfametazin, aquinoksalin, dan sulfamethoksazol memiliki peranan  penting di bidang kedokteran hewan yaitu dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa (Mamani et al. 2009).
2.  β-Laktam
Antibiotik ini mempunyai struktur  β-laktam melingkar, yang termasuk golongan ini adalah penisilin,  β-laktamase inhibitor, sephalosporin, ampisilin, dan amoksilin.  Antibiotik ini digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak dinding sel bakteri.  Golongan  β-laktam terutama penisilin merupakan antibiotik yang bersifat non-toksik.  Antibiotik tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan pada hewan ternak (Verdon et al. 2000).

3.  Tetrasiklin
Derivat antibiotik ini berasal dari Streptomyces  sp.  Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas dengan  aktivitas yang tinggi dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri.  Dalam bidang peternakan antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan  jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan.  Golongan tetrasiklin yang banyak digunakan di bidang kedokteran hewan adalah oksitetrasiklin dan klortetrasiklin.
4.  Aminoglikosida
Antibiotik ini mempunyai struktur gugus gula amino yang berikatan dengan glikosida yang termasuk golongan ini adalah gentamisin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan spektomisin.  Aminoglikosida merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan  aktif dalam melawan bakteri Gram negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri.  Neomisin merupakan golongan aminoglikosida  yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan secara per oral.   Antibiotik ini dapat digunakan untuk pengobatan mastitis yang diaplikasikan secara intramamari(Wang et al. 2009).
5.  Makrolida
Antibiotik ini mempunyai gugus makrosiklik lakton yang mengikat gugus gula.  Golongan makrolida adalah eritromisin, tilosin, spiramisin, dan linkomisin.  Makrolida dapat digunakan untuk pengobatan penyakit saluran respirasi khususnya eritromisin dapat melawan bakteri Gram positif.  Tilosin, spiramisin, dan linkomisin dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.

2.5 Tujuan Penggunaan Antibiotik
Penggunaan obat-obatan terutama antibiotik, belakangan ini tidak dapat dihindari lagi karena usaha peternakan  telah dioperasikan secara intensif dan dalam skala industri (Lukman 1994).  Pemakaian obat-obatan tersebut memiliki alasan atau tujuan yang berbeda-beda yaitu (1) mencegah dan mengobati penyakit pada hewan ternak dan manusia, (2) menyelamatkan ternak dari kematian, (3) meningkatkan efisiensi pakan, memacu pertumbuhan, dan mengurangi penderitaan hewan (misalnya obat-obat sedasi), (4) menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, (5) pengawet makanan, (6) mengembalikan kondisi ternak untuk berproduksi penuh kembali dalam waktu yang relatif singkat, (7) mengurangi atau menghilangkan penderitaan ternak dan mencegah penyebaran mikroorganisme patogen ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan ternak dan manusia (Haagsma 1988; Wiryosoehanto 1990;  Lukman 1994; Drosinos  et al. 2009; Mamani  et al. 2009; Pikkemaat  et al. 2009; Pericas et al. 2010). 
Antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) biasanya diberikan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang bermanfaat untuk meningkatkan produksi (terutama unggas dan babi) dan mengurangi biaya pakan (Wiryosoehanto 1990; Martinez 2009).  Manfaat penggunaan antibiotik dalam pakan adalah sebagai berikut (1) antibiotik secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino, (2) antibiotik dapat membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan, (3) meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium dari pakan ternak yang dikonsumsi, (4) mengurangi kebutuhan  zat-zat gizi seperti vitamin B12, mineral, dan asam amino (Siregar 1990).
2.6 Keamanan Pangan
Keamanan pangan didefinisikan dalam Undang-Undang Pangan RI Nomor 7 tahun 1996 sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim 1997). 
Menurut  Codex Alimentarius Commission (1997), keamanan pangan adalah semua kondisi dan ukuran kebutuhan untuk menjamin keamanan dan kesesuaian pangan dalam semua tingkat rantai pangan.  Keamanan pangan pada dasarnya merupakan proses yang komplek, yang berkaitan erat dengan aspek kebijakan, toksisitas, kimiawi, status  gizi, kesehatan, dan ketentraman batin      (Indraningsih 2006).  Masalah keamanan pangan perlu pengawasan yang komprehensif di sepanjang rantai pangan dari sejak pangan diproduksi sampai dikonsumsi oleh masyarakat (from farm to table).  Keamanan pangan menjadi perhatian dunia karena dampak terhadap  kesehatan masyarakat sangat besar.  Keamanan pangan dan masalah gizi berpengaruh terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang (Gartini et al. 2009).
Kedudukan masyarakat dalam keamanan pangan berperan sebagai konsumen dan penghubung terakhir dalam rantai pangan setelah melewati proses produksi, pengolahan, dan distribusi ke penjual pangan.  Faktor yang mempengaruhi keamanan pangan pada konsumen antara lain: umur, gaya hidup, kesehatan, pengetahuan, kebudayaan, jenis kelamin, pandangan politik, kebutuhan nutrisi, daya beli, status ekonomi, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan (Seward 2003b).  Terjaminnya keamanan pangan di masyarakat perlu pengawasan yang ketat dan secara terpadu dari pemerintah maupun departemen yang bergerak di bidang pangan.  Pengawasan terhadap produk pangan bertujuan untuk mencegah munculnya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
2.7 Bahaya dalam Keamanan Pangan
Menurut  National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Food (1997), yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya dalam keamanan pangan terdiri dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan bahaya fisik.  Bahaya biologis dapat menyebabkan infeksi (pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit) dan intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh mikroorganisme).  Contoh dari agen biologis pangan asal hewan yang ditransmisikan kepada manusia antara lain:  Salmonella, Campylobacter, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Toxoplasma, Leptospira, Coxiella burnetii  (Q fever), Brucella, Mycobacterium, Yersinia enterolitica, prion (bovine spongiform encephalopathy agent), dan parasit (Taenia solium,  Taenia saginata, dan  Trichinella spiralis), agen tersebut dapat menyebabkan foodborne disease (OIE 2006).
Bahaya kimia berasal dari: (1) bahan pertanian seperti pestisida, antibiotik, dan hormon pertumbuhan, (2) industri kimia seperti  cleaning agent,  sanitizers, dan peralatan industri yang berhubungan dengan minyak, bensin, dan pelumas.  Bahaya kimia yang lainnya seperti toksikan alami (mikotoksin) dan kontaminasi dari lingkungan antara lain:  dioxins,  polychlorinated biphenyls (PCBs), polyaromatic hydrocarbons (PAHs), logam berat (arsenik, merkuri, timbal, dan cadmium merupakan toksik logam berat  pada hewan domestik), dan isotop radioaktif (Seward 2003a; OIE 2006; Andree  et al. 2010).  Menurut Corleet (1998) yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya fisik terdiri  dari gelas, kayu, plastik, batu, logam, dan tulang.  Bahaya fisik merupakan kontaminasi yang tidak disengaja berasal dari penanaman, pemanenan, proses industri, distribusi, dan penyimpanan.
2.8 Dampak Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat
Residu antibiotik di dalam daging  serta produk hewan lainnya, dapat menimbulkan ancaman potensial terhadap kesehatan masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama (Lukman 1994), ancaman tersebut dapat berupa (1) aspek toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat bersifat racun terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika, (2) aspek mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme tubuh, (3) aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotik dapat menjadi faktor pemicu timbulnya reaksi alergi dari  yang bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal, (4) menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan (Haagsma 1988; Donkor et al. 2011).
Haagsma (1988) memandang masalah residu obat dalam bahan makanan dan penggunaan obat dalam bidang veteriner berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, aspek teknologi, dan aspek lingkungan.  Ditinjau dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotik dalam bahan makanan dapat mengganggu atau menggagalkan proses fermentasi.  Ditinjau dari aspek lingkungan, penggunaan obat pada ternak akan mencemari lingkungan karena senyawa asal obat atau metabolit akan diekskresikan melalui urin dan feses.  Ekskreta obat atau metabolit tersebut akan terlibat pada proses mikrobiologik dalam manur dan tanah, serta dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme, yaitu dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi (Martaleni 2007).  Kemungkinan ancaman residu obat dalam bahan makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah mutagenik, karsinogenik, dan imunosupresif.
BAB III
KESIMPULAN
1.1      Kesimpulan
Secara umum antibiotik memang memiliki fungsi yang penting di dalam kehidupan mahluk hidup, antara lain mencegah dan mengobati penyakit pada hewan ternak dan manusia, menyelamatkan ternak dari kematian, meningkatkan efisiensi pakan, memacu pertumbuhan, dan mengurangi penderitaan hewan (misalnya obat-obat sedasi), menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam penggunaannya perlu mendapat perhatian karena jika digunakan dengan dosis yang tidak sesuai dapat memicu berbagai dampai negatif.

1.2      Saran
Berdasarkan penelitian ini, disarankan beberapa hal terkait pencegahan dan pengendalian residu antibiotik pada  pangan asal hewan, khususnya daging, sebagai berikut:
1.       Diharapkan pemerintah daerah dapat  meningkatkan pengawasan terhadap mutu dan keamanan pangan asal hewan mulai dari peternakan hingga ke konsumen.  
2.       Penggunaan antibiotik pada hewan ternak seharusnya di bawah pengawasan dokter hewan agar tidak menimbulkan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan. 
3.       Penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keamanan pangan asal hewan.



DAFTAR PUSTAKA

http://149-santoz.blogspot.com/2012/06/makalah-kandungan-anti-biotik-dalam.html