Kamis, 22 Maret 2012

TENTANG AKU, DIA DAN KOTA JOMBANGKU




TENTANG AKU, DIA DAN KOTA JOMBANGKU
                                                                                                Oleh lndah Tri

P
agi ini tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Setelah mandi aku menjalankan tugasku sebagai pasukan kuning. Sebuah pekerjaan yang tak pernah terpikirkan akan ku lakukan, ia memang manusia boleh berkeinginan tapi nasib Allah lah yang menentukan. Semula aku menjalani ini karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Hidup keluargaku memang jauh dari kata mampu, aku saja hanya sanggup mengenyam bangku SMP itupun nggak sampai lulus. Ekonomi kembali jadi alasannya. Tapi kini, bukan hanya karena uang aku menjalankan pekerjaanku. Ini adalah sebuah amanah yang diberikan Allah dan ini adalah suatu bentuk pengabdianku pada negara dan lingkungan.
Aku meraih sapu dan keranjang sampah lalu segera menuju jalan-jalan yang harus ku bersihkan. Hujan yang mengguyur kota Jombang semalam membuat jalan-jalan basah, dedaunan menjadi sulit disapu. Tetesan air jatuh membasahi tangan, meresap sampai ke tulang. Aku tetap meneruskan pekerjaanku. Tetesan air makin banyak dan cepat. Aku tetap meneruskan pekerjaanku. Tetesan air makin banyak dan cepat. Aku menengadah ke langit. Aku baru menyadari hujan telah turun dengan derasnya. Aku berlari untuk berteduh disebuah kedai. Aku berdiri di tengah puluhan siswa baik SMP maupun SMU. Canggung rasanya! Mareka asyik ngobrol, ngerumpi bareng temannya, bermain HP dan ada juga sedang membenahi tatanan rambutnya. Keberadaanku disana tak sedikitpun mengusik mereka, tapi ada satu anak yang memperhatikanku. Namun, perlahan dia menjauh merapat ke anak-anak yang sedang ngerumpi. Ah... apa aku seperti dedaunan yang tak berharga itu di matamu? Aku juga manusia punya hati punya nurani seperti dirimu. Aku sendiri tak ingin seperti ini. Kalau kamu tanya apa cita-citaku, aku tak kan menjawab jadi petugas kebersihan, tak kan. Cita-citaku menjadi Insiyur Pertanian. Tapi skenario hidupku seperti ini, mau nggak mau tetap kujalani dengan penuh keikhlasan? Gumamku dengan hati kecilku. Aku hanya bicara dengan hatiku karena tak satupun orang mengajakku berbicara. Jangankan berbicara, melirik saja nggak. Aku benar-benar seperti sampah!.
Lima belas menit kemudian hujan berhenti. Aku segera kembali melanjutkan pekerjaanku. Aku harus lebih cepat menyelesaikan ini karena ada pekerjaan lain yang menungguku.
“Boleh tanya ini daerah mana?” seseorang berbicara dari arah sampingku.
“Ini kota Jombang. Kamu nyasar?” tanyaku yang tetap tak menghentikan aktivitasku.
“Aku sedang melakukan perjalan untuk mencari kedamaian.”
“Memang kamu selama ini tinggal di Irak atau Palestina?”
“aku sedang mengalami konflik batin.”
“Wah tepat sekali. Jombang adalah kota santri. Kamu akan mendapatkan kesejukan disini. Kamu bisa masuk pesantren atau memilih kos-kosan. Di daerah sana banyak kos-kosan karena kebetulan dekat kawasan sekolah.
“Oh begitu....”
“Maaf aku harus pergi,” Aku melangkah meninggalkan perempuan yang tampak usianya tidak begitu jauh dariku.
“Tunggu... namamu siapa? Aku boleh ikut ke rumahmu?” teriaknya.
“Aku Mardika, rumahku kampung kumuh nggak cocok untukmu, sahutku sambil teriak juga.
“Tapi aku disini nggak kenal siapun. Aku nggak tahu harus kemana.”
“Kamu bisa ngekost. “Aku segera berlari menjauh. Dalam hatiku aku merasa kasihan tapi aku harus segera keliling di sebuah kawasan perumahan untuk mengambil sampah-sampah anorganik yang bisa di daur ulang. Bisnis mendaur ulang sampah sudah satu tahun yang lalu aku lakukan. Hasilnya lumayan untuk menambah pendapatan.
“Sampah.... sampah bu!” teriakku. Ibu-ibu di rumah tanggapun segera bermunculan di depan pintu dengan membawa keranjang sampah. Begitu bangganya aku melihat orang-orang di kawasan ini sadar akan lingkungan. Coba semua orang didunia ah di Indonesia saja sadar untuk menjaga lingkungan mungkin bisa mengurangi Global Warming. Meskipun aku tidak sekolah jangan kira aku tidak tahu global warming. Aku sering mendengarnya di radio.
“Makasih bu’!” Setelah terkumpul semua, aku pulang ke rumah untuk mengelolahnya. Rumahku berada di belakang kompleks perumahan. Kalau kamu melihat kesitu, aku tampak kepincangan sosial antara kawasan perumahan yang elit dengan kampung kumuh. Disitulah dapat kamu lihat bagaimana hidup yang sebenarnya. Ada kaya, miskin, senang maupun susah.
“Hust... hust... hust... hust!” ada sebuah suara aneh. Aku menoleh ke belakang, sepi. Aku pun segera melanjutkan langkahku.
“Hai... aku disini.” Suara itu ternyata dari arah samping, aku pun menoleh. Coba tebak siapa yang ku lihat! Ya, perempuan tadi pagi. Perempuan yang sedang mengalami konflik batin.
“Kamu????”
“Aku dari tadi membuntuti kamu. Kamu nggak sadar?” Aku menggelengkan kepala.
“Aku ingin tahu rumahmu dan akrab sama kamu.”
“Rumahku benar-benar jelek. Kamu bisa nggak tahan masuk rumah.”
“Nggak apa-apa.”
“Ya sudah kamu maksa, Yuk !” Aku mengajaknya menuju rumahku.
“Boleh aku bawakan !”
“Apa?”
“Ya barang-barang kamu itu.”
“Nggak perlu kan kamu sudah bawa barang-barangmu.”
“Tapi ini nggak berat kok.”
“Nggak usah deh. Cepat sedikit ya jalannya aku harus cepat-cepat mencari bahan untuk mengelolah kaleng-kaleng ini !” Perempuan tadi seperti kewalahan mengikuti langkahku.
“Akhirnya, sampai juga. Ini rumahku.” Dan tiba-tiba langsung terdiam sambil memandang rumahku dan sekelilingnya.
“Kumuh kan?”
“Nggak bakal cocok untukmu.”
“Nsok.”
“Apa?”
“maksudku nggak apa-apa karena aku sebenarnya berasal dari keluarga yang sederhana juga.”
“Bohong. Tampang kayak kamu itu golongan papan atas.”
“Lho kamu nggak percaya?”
“Memang nggak percaya. Udah deh nggak usah bohong. Meski kamu pake baju biasa pun bakal terlihat kalau kamu dari kalangan yang lumayan. Udah.... cepetan masuk!” Aku segera mempersilahkan dia duduk dan mengambil segelas air putih.
“Orang tua kamu kemana?”
“Mereka udah meninggal. Aku disini tinggal sama kedua adikku yang masih SD. Oh ya nama kamu siapa?”
“Aku Kinanthi. Ka, usia kamu berapa?”
 “19 tahun”.
“Kamu istirahat dulu ya, aku mau mencari bahan untuk kaleng. Kalau mau tidur, tidur aja di kamarku. Bukan spring bed sih tapi nyaman kok buat tidur,”
“Iya... makasih.”
“Aku keluar dulu, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” Maaf aku tidak bisa membiayai pendidikan adik-adikku. Hanya akulah tulang punggung keluarga ini. Kadang ketika benar-benar letih, aku selalu mengeluh kenapa Tuhan membuatku sebgsara bukankah Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Aku mengayuh sepedaku melewati jalan-jalan yang begitu panasnya untuk mencari toko yang menjual kacang hijau dan kedelai dengan harga murah. Harga kebutuhan pokok di negeri ini makin melambung saja. Yang duduk di atas sana sih tidak masalah, tapi yang hidup di bawah seperti aku dan orang miskin lainnya makin sengsara saja. Padahal aku sudah meminimalkan untuk tidak memakai mitan lagi, sekolah-sekolah adikku pun sudah mendapat bantuan dari pemerintah. Tetap saja aku harus memeras keringat untuk memnuhi kebutuhan.
“Ah... adik-adikku sudah waktunya pulang!” batinku melihat ada beberapa siswa SD menyebrang jalan. Aku tidak merasa bingung sedeikit pun meskipun aku Cuma menyediakan nasi saja dirumah. Adik-adikku terbiasa hidup mandiri. Mereka bisa menggoreng tempe dan membuat sambal untuk makan siang mereka. Bagaimana dia nanti?. Apakah dia mau makan nasi dengan lauk tempe atau ikan asin plus sambal?.
Mengingat itu, aku segera cabut pulang tentunya setelah mendapatkan barang yang ku cari.
Setibanya di rumah, aku begitu kaget melihat Kinanti asyik makan bersama kedua adikku.
“Merdika, cepat cuci tanganmu dan makan bersama kita!” ucap Kinanthi sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
“ayo mbak ika ntar nasinya keburu abis,“ sahut Murti.
“Mbak Kinanthi kalau makan, banyak soalnya,” Fita tak mau kalah. Aku cepat menaruh kresekku dan lekas cuci tangan.
“wah... selamat makan !” Hmmm ... enaknya! Alhamdulillah aku sudah kau beri rezeki, sehingga aku bisa mengisi perut.
“Sambalnya enak ya kapan-kapan aku ajari dong cara pembuatannya!”
“Kamu nggak pernah makan sambal?”
“Nggak pernah. Ibuku nggak bisa buat sambal juga nggak doyan. Jadi keluarga semua nggak pernah makan sambal. Dan ternyata....
“Ternyata apa?”
“Ternyata sambal itu enak.”
“Aku tadi sempat bingung lho mau memberi makan apa ke kamu?”
“kasih aja aku jagung atau dedaunan di samping rumahmu.”
“Beneran nih?”
“Ya udah mbak kalau mbak Kinanti lapar Murti ambilkan aja daun pepaya.”
“Tapi jangan pake jagung, rada mahal!”
“Kan ada kerikil nganggur ya?”
“wah ... betul ... betul mbak. Awas kalu nggak mau!”
“Lho... lho... lho... aku kan Cuma bercanda?.
Malam ini terasa beda karena rumahku terasa lebih ramai. Kinanthi cewek yang supel, anggun, kaya wow betapa enaknya jadi dia. Nggak perlu bangun pagi-pagi untuk kerja, berkelahi dengan waktu demi memperoleh sesuap nasi.
“Klonflik kamu apa sich?” tanyaku pada Kinan, biasa ia dipanggil.
“Aku mengalami kekecewaan yang begitu berat. Cowokku membatalkan pernikahan kami yang kurang empat hari lagi. Dia pergi menghilang begitu saja.
“Terus orang tua kamu bagaimana?”
“Orang tuaku nggak begitu memikirkan biaya yang sudah dikeluarkan bahkan orang tuaku nggak peduli apa kata orang tapi mereka memikirkanku. Mereka takut aku bunuh diri.”
“Maaf... aku mengingatkanmu kembali.”
“Nggak apa-apa kok. Mangkanya aku memutuskan melakukan perjalan ini.”
“Semua memang terasa berat tapi aku yakin Alah pasti mempunyai rencana lain yang indah untukmu.”
“Aku harap juga begitu.”Aku melihat tetesan air mata di remang-remang cahaya lampu tempel. Oh... betapa pedihnya dikhianati orang yang benar-benar di cintai.
Pikiranku tadi ternyata salah, aku pikir cewek secantik dan sekaya Kinan tidak akan dikecewakan oleh cowok. Kinan... kinan... apa sih yang kurang dari kamu!
“Kamu pernah pacaran?” tanya Kinan. Aku spontan tertawa mendengarnya.
“Lho kok tertawa? Perasaan nggak ada yang lucu dech!”
“Boro-boro pacaran, jatuh cinta saja nggak pernah. Mikirin hidup udah susah gini kok ditambah mikirin cinta.”
“Tapi suatu saat kamu bakal ngrasain lho.”
“Ah... seandainya aku bisa menawar takdir aku minta nggak dikasih jodoh saja biar nggak perlu nikah.”
“Hust... kalau ngomong ati-ati dong!”
“Ya... iya Allah pasti tahu kok kalau aku becanda. He.. he.. he!” Duar... terdengar suara gledek diiringi gemuruh hujan. Aku segera menyelimuti kedua adikku dan duduk di sebelahnya karena Fita, adikku yang masih kelas 2 SD takut mendengar suara petir.
“Mbak ika... mbak ika,” kita terbangun.
“Tenang dek, mbak ika ada disini. Adik tidur aja ya.” Ku belai-belai rambutnya agar dia cepat tertidur. Tes... aku tiba-tiba merasakan air dingin menembus pori-pori lenganku. Ah... gentingku bocor rupanya. Aku segera mengambil ember untuk menampung air atap.
“Ka, genteng kamar bocor, embernya mana?” Kamarku yang ditempati Kinan juga bocor. Waduh... aku sangat panik karena dimana-mana terjadi kebocoran.
Kiran pun ikut mengambil ember-ember di dapur untuk menampung air.
Sudah tiga hari Kinan menginap dirumahku. Aku tidak merasa terbebani justru Allah malah memberi rejeki lancar. Bisnis daur ulangku makin lebih baik dengan bantuan tangannya. Secara Kinan adalah Sarjana Ekonomi.
“Aku rasa perjalanku sudah cukup. Aku sudah menemukan kedamaian lagi. Hidupmu telah mengajariku banyak hal. Makasih atas segalanya.”
“Kamu tidak menunggu Fita dan Murti?”
“Keretaku berangkat jam sembilan. Maaf ya. Aku titip salam saja sama mereka.”
“Kami saling berpelukan. Tiba-tiba air mataku meleleh, membasahi pundak Kinan. Aku merasakan kehilangan. Bagiku, Kinan sudah menjadi bagian dari keluargaku. Berarti bagian dari hatiku juga.
“Jangan pernah lupakan aku. Meski kamu tainggal disini beberapa hari tapi kamu sudah ku anggap saudara.”
“Jika Allah memberiku umur panjang, aku janji akan datang mengunjungimu.”
“Maaf ya kalau selama ini aku kurang baik menerimamu.”
“Justru aku yang minta maaf udah ngerepotin.” Selamat tinggal pahlawan lingkunganku
Tetap semangat ya biar Jombang tetap mendapat penghargaan Adipura.” Kinan melepas tangannya dan melangkah pergi. Aku terus memandang sampai bayangan Kinan berlalu, Ah... aku betul-betul sedih tapi mengapa aku tidak melihat air mata di wajah Kinan. Apa dia tidak sedih dengan perpisahan ini? Apa dia hanya menganggap sebagai orang lain yang hanya sekedar memberi tumpangan tidur? Aku segera membalikkan badanku dan masuk ke dalam rumah.
“Merdika!!!!” Tiba-tiba terdengar suara Kinan yaa itu suara Kinan. Aku segera kembali ke luar rumah. Aku melihat Kinan, Fita dan Murti turun dari mobil dengan pakaian yang bagus-bagus. Aku bertanya ada apa gerangan?
“Keluargaku ingin kamu, Fita dan Murti memulai hidup baru bersamaku di Bogor.
Semua tetek bengek sudah ku urus bahkan aku sudah bilang atasanmu.”
“bagaimana? Keluargaku mau memberi modal untuk usaha kerajinan barang-barang bekas yang akan kita kelola bersama.” Aku sungguh tak percaya, benarkah apa yang dikatakan Kinan? Benarkah semuanya itu? Oh.. Tuhan, aku betul-betul bahagia. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku panjatkan untukmu. Terima kasih... terima kasih karena Kau sudah mempertemukanku dengan Kinan. Aku akan memulai hidup baru, aku berharap hidupku yang baru ini akan lebih baik. Aku berharap aku tidak di pandang sebagai sampah lagi, tapi aku belum rela meninggalkan kotaku, kota kelahiranku. Ah kotaku, maafkan aku, aku harus pergi demi masa depan lebih baik. Semoga engkau tetap bersih dan berseri tanpaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar