Minyak
goreng telah akrab dalam keseharian. Sebab makanan yang digoreng kerap
merupakan makanan kesukaan keluarga. Seperti diketahui bahwa di pasaran, banyak
beredar minyak goreng yang terbuat dari beragam bahan dasar. Seperti dari
minyak kelapa, minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak biji bunga matahari.
Ada
pula minyak goreng sawit yang berbeda dalam proses pembuatannya. Proses
pembuatannya yaitu dari buah sawit,
diperoleh minyak mentah berwarna jingga kemerahan karena mengandung
beta-karoten. Minyak mentah ini terdiri atas dua fraksi, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein).
Untuk menjadi minyak goreng, minyak sawit mentah ini mengalami proses rafinasi
(refining) pertama, yaitu penetralan, pencucian, penghilangan warna (bleaching), dan penghilangan bau (deodorization) sehingga diperoleh refined bleached deodorized
palm oil (RBDPO) yang terdiri atas dua fraksi:
fraksi padat dan fraksi cair.
Proses
rafinasi kedua adalah proses fraksinasi yang sering juga disebut sebagai proses
penyaringan. Proses fraksinasi ini bertujuan untuk memisahkan fraksi padat dari
fraksi cair. Caranya dilakukan dengan menurunkan suhu minyak menjadi 20°C. Kemudian disaring sehingga fraksi padat bisa dipisahkan dari
fraksi cair. Fraksi padat yang terkandung dalam fraksi cair itu dikenal sebagai
solid fat content (SFC).
Secara
umum, fraksinasi yaitu proses pemisahan trigliserida yang terdapat pada minyak
kelapa sawit berdasarkan titik lelehnya. Pada suhu tertentu trigliserida yang
memiliki titik leleh yang lebih rendah akan mengkristal dan akan terpisah dan
trigliserida akan terbagi menjadi 2 fraksi, yaitu fraksi padat dan fraksi cair.
Sebelum
ditemukannya proses fraksinasi modern, proses pemisahan dilakukan dengan cara
pengendapan (settling) dan memanfaatkan gaya grafitasi untuk memisahkan fraksi
pada yang lebih berat dengan fraksi cair yang ringan. Metode fraksinasi ini
tidak efisien sebab pada fraksi paadt masih terdapat fraksi cair yang
terperangkap yaitu sekitar 70%.
Menurut
Akoh and David (2002), ada 3 macam proses fraksinasi yang saat ini digunakan yaitu:
Ø Dry Fractination
(Fraksinasi kering)
Pada
fraksinasi kering, digunakan suhu 20°C untuk menghasilkan palm olein sekitar 70% dari hasil dan sisanya palm stearin (sebagai bahan shortening
dan margarine). Fraksinasi kering
kedua dilakukan untuk mendapatkan super
palm stearin (untuk minyak goreng) dan palm
mid-fraction (sebagai campuran cocoa
butter). Dan menggunakan filter atau sentrifuse untuk memisahkan fraksi
padat dan cair
Ø Wet Fractination (Fraksinasi
basah)
Fraksinasi
basah menggunakan pelarut organik seperti hexane,
acetone, isopropanol, dan 2-nitropropane, untuk mengeluarkan minyak sawit
dan minyak biji kapas. Fraksinasi basah diaplikasikan pada minyak yang rentan
terhadap reaksi oksidasi.
Ø Fraksinasi
dengan menggunakan Aqueuous Detergent
Phase
Aqueuous Detergent Phase
mengandung 0,5% sodium lauryl sulfate, plus magnesium sulfat sebagai
elektrolit. Fase ini dicampur pada fraksi cair dan fraksi padat. Kristal padatan
minyak terikat pada fase aqueous dan dipisahkan dari fraksi cair minyak dengan
cara sentrifugasi. Air dalam minyak dipisahkan dari kristal dengan cara
memanaskan dan sentrifugasi. Kemudian kedua fraksi dicuci dengan air untuk
menghilangkan deterjen dan vacuum-dried
untuk menghilangkan sisa-sisa air.
Minyak
goreng sawit yang diperoleh dari proses fraksinasi tunggal pada suhu 20°C mengandung sekitar 15-20 persen SFC, sedangkan yang didapat
dari proses fraksinasi ganda hanya mengandung sekitar 0-5 persen SFC. Minyak
goreng sawit fraksinasi ganda selalu akan berbentuk cair pada suhu rendah
karena kandungan SFC-nya juga rendah. Sedangkan minyak goreng sawit fraksinasi
tunggal akan membeku apabila direndam dalam air es karena kandungan SFC-nya
lebih tinggi.
Dengan
kata lain, kandungan asam lemak tak jenuh minyak goreng sawit fraksinasi ganda
lebih tinggi ketimbang produk fraksinasi tunggal. Hal ini kerap dikaitkan
dengan keadaan minyak (lemak) dalam tubuh. Bahwa minyak yang membeku dalam air
es (minyak sawit fraksinasi tunggal) juga akan membeku dalam tubuh manusia.
Padahal suhu tubuh adalah 37 derajat Celcius. Tentu saja iklan atau promosi
semacam ini mengada-ada dan jelas membodohi konsumen. Sesungguhnya, terlalu
berlebihan jika mempermasalahkan komposisi asam lemak dari minyak goreng yang
digunakan.
Misalnya,
disebutkan minyak goreng yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih baik
dibandingkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh. Pertama, jumlah minyak
yang terdapat dalam makanan yang digoreng relatif sedikit kecuali bahan pangan
yang ditumis. Kedua, dalam proses penggorengan akan terjadi kerusakan asam
lemak tidak jenuh karena tingginya suhu selama proses penggorengan sekitar
150-180 derajat celcius. Sehingga jumlah asam lemak tidak jenuh yang diharapkan
akan terkonsumsi, sesungguhnya sangat sedikit.
Sebenarnya,
konsumsi asam lemak tak jenuh berlebihan juga membahayakan kesehatan. Sebab
dapat membentuk lebih banyak senyawa radikal dalam tubuh. Sesuatu yang dapat
merusak sel-sel dan jaringan tubuh. Sebuah penelitian membuktikan, konsumsi
asam lemak tidak jenuh berlebihan akan meningkatkan peluang atherosclerosis
akibat rusaknya pembuluh darah oleh senyawa radikal itu.
Para
ahli selalu menganjurkan pemakaian asam lemak tidak jenuh tinggi harus disertai
pula dengan konsumsi vitamin E yang tinggi pula. Ikatan Dokter Ahli Jantung di
AS menganjurkan agar konsumsi minyak/lemak dibatasi sekitar 30 persen dari
total kalori yang dikonsumsi (sekitar 90-100 g minyak/lemak per hari).
Minyak/lemak tersebut harus terdiri dari 10 persen mengandung asam lemak jenuh
(saturated fanty acid/SFA),
10 persen asam lemak tidak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acid/MUFA)
dan 10 persen asam lemak tidak jenuh jamak (poly-unsaturated fatty acid/PUFA).
Daftar Pustaka
Anonymous, 2008. Minyak Goreng. http://www.republikaonline.com/ minyakgoreng.mht.
Akoh, Casimir C, dan David, 2002. Food Lipids. Marcel Dekker, Inc.
New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar