Jumat, 12 Desember 2014

SUBTITUSI UNTUK TEMPEKU

Malang, 13 Desember 2014

Dalam hal ini saya tidak akan membahas mengenai teknologi pengolahan pangan yang merupakan background pendidikan saya, namun saya akan lebih mengajak anda dalam usaha penyelamatan tempe dari aspek sosial. Hal ini saya lakukan karena keprihatinan saya ketika mendengar tempe digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan karakteristik tempe itu sendiri, terlebih tempe adalah makanan murah meriah sarat gizi yang senantiasa menemani kehidupan bangsa ini mulai dari zaman nenek moyang saya dahulu hingga saat saya menulis artikel di kamar kost ini.
Sering kali kita menggunakan istilah mental tempe untuk menggambarkan kondisi seseorang maupun kelompok orang yang penakut, mudah menyerah, tidak tahan banting dan sifat-sifat lemah lainnya. Padahal dibalik kesederhanaan tempe terdapat nilai gizi yang sangat baik untuk kita konsumsi. Bahkan dewasa ini tempe sudah mulai diteleti dan dipatenkan oleh para ilmuan di luar negera ini, selain itu tempe pun mulai dikembangkan, diproduksi dan dipasarkan sebagai bahan makanan. Awalnya memang hanya untuk memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia yang ada disana. Namun seiring berjalannya waktu tempe pun mulai diminati oleh penduduk domestik yang tinggal disana. Lantas kenapa tempe digunakan untuk menggambarkan kondisi yang sedemikian rendahnya. Apakah saya dan mayoritas penduduk bangsa ini akan dianggap orang bermental tempe karena hampir tiap hari mengkonsumsi tempe. Tentu analogi ini akan menjadi sangat ironis apabila tetap dilestarikan, oleh karena itu saya akan coba mengenalkan anda kepada subtitusi dari istilah tempe dalam menggambarkan kondisi-kondisi seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya sebagai usaha penyelamatan tempe yang merupakan salah satu icon pangan tradisional bangsa ini.
Sebelum menuju istilah yang ingin saya kenalkan kepada anda, maka mari kita coba berkenalan lebih dekat dengan makna dari mental tempe yang acapkali terdengar di telinga kita. Mental tempe biasanya digunakan untuk menggambarkan sikap yang senantiasa berusaha meninggalkan setiap masalah yang menimpanya tanpa diiringi kreativitas dan keberanian lebih dalam proses pemecahannya. Selain itu, juga menggambarkan seseorang yang hanya berfikiran sempit dan mengambil apa yang tampak mudah tanpa berusaha mengusahakan hanya apa yang ia mampu tanpa ada upaya melalui proses lain yang mampu meningkatkan kemampuannya. Apabila dijabarkan lebih jauh lagi tentu masih panjang lagi deskripsi yang akan kita buat, namun sampai disini dulu dan mari kita carikan analogi yang lebih sesuai.
Dalam pemikiran pagi ini, saya menemukan bahwa istilah yang mungkin lebih cocok dalam menggantikan kata tempe dalam penggambaran mental tersebut jatuh pada istilah “copet”. Secara definitif copet merupakan suatu pekerjaan mengambil barang orang lain seperti dompet, hp, jam tangan, perhiasan serta barang berharga lainnya untuk selanjutnya dijual dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesempitan pola pikir di dorong rendahnya kapasitas diri yang diperkuat oleh tekanan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan menjadikannya menghalalkan proses ini. Sealin itu, dalam usahanya “copet” yang mengalami kegagalan dalam pekerjaanya akan hanya mampu berlari menghindari masalah yang berbentuk kumpulan masa yang mengejarnya untuk menghadiahkan “bogem-bogem mentah” kepadanya. Dari aspek ini saya kira analogi Mental copet ini memang lebih pas untuk menggambarkan kerendahan mental seseorang dari pada istilah mental tempe. Mungkin kalau di dengar sekilas istilah ini masih agak asing karena ini adalah istilah baru yang baru saya kenalkan kepada diri saya dan anda semuanya sebagai salah satu usaha saya untuk membersihkan nama baik makanan warisan leluhur saya yang begitu saya cintai ini.
Semoga dengan tulisan ini mampu membebaskan tempe ku dari belengku perendahan makna yang selama ini membekapnya. Sudah saatnya kini engkau menjadi icon dan kebanggaan bangsa ini meskipun bahan baku mu masih harus mengemis dari rumah paman Sam yang jauh disana.