MAKALAH CIVIC EDUCATION
GOOD & CLEAN GOVERNANCE
Oleh :
Adi
Santoso 201010220311026
Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan
Fakultas
Pertanian-Peternakan
Universitas Muhammadiyah
Malang
2011
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI.............................................................................................................................1
BAB
I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang......................................................................................................2
1.2. Rumusan
Masalah.................................................................................................2
1.3. Tujuan dan Manfaat..............................................................................................2
BAB II :
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Good and Clean
Governance…………………….…………………………...3
2.2.
Prinsip-prinsip Good and Clean Governance…………………………………………….3
a.
Partisipasi.......................................................................................................................4
b.
Penegakan
hukum..........................................................................................................4
c.
Transparansi...................................................................................................................5
d.
Rensponsif.....................................................................................................................6
e.
Konsensus.....................................................................................................................7
f.
Keadilan........................................................................................................................7
g.
Efektifitas dan
Efensiense............................................................................................7
h.
Akuntanbilitas...............................................................................................................8
i.
Visi strategis.................................................................................................................8
2.3. Pengertian
Korupsi............................................................................................................8
a.
Asal usul korupsi di negara
berkembang......................................................................8
b.
Dampak
korupsi..........................................................................................................12
c.
Hubungan
antara good and clean governance dengan gerakan anti korupsi…..........13
2.4. Hubungan Antara Good And Clean Governance Dengan
Dengan Kinerja
Birokrasi
Pelayanan Publik...............................................................................................14
BAB III : ANALISIS
KAJIAN
3.1 Analisis
Kajian
................................................................................................................
15
BAB IV :PENUTUP
3.1. Kesimpulan
......................................................................................................................17
3.2.
Saran.................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Istilah clean and good governance atau tata pemerintah yang bersih dan baik
merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi. Wacana clean and good governance
sering kali dikaitkan dengan tuntutan atau pengelolaan pemerintahan yang
professional, akuntabel dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebuah kritik terhadap pengelolaan pemerintahan orde baru yang sarat KKN yang
berakhir krisis ekonomi yang berkepanjangan. Perdebatan clean and good
governance merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM dan
masyarakat madani yang di usung gerakan reformasi.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah materi dalam makalah ini diarahkan pada pengertian clean and
good governance, prinsip-prinsip clean and good governance, definisi korupsi
menurut komisi pemberantasan korupsi, asal usul korupsi dinegara berkembang,
dampak dari korupsi, hubungan antara clean and good governance dengan kinerja
birokrasi pelayanan public, supaya Pemerintah lebih bisa Akuntanbel.
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan makalah ini untuk memahami pentingnya clean and good governance yang
mewujudkan transparasi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi
yang mengakibatkan terjadinya kebocoran anggaran, penggunaan negara untuk
kepentingan individu atau golongan, bukan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN GOOD AND CLEAN
GOVERNANCE
Istilah good and
clean governance merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu
politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum pengertian good and clean governance adalah
segala hal yang terkait dengan tindakan yang bersifat mengarah. Mengendalikan
atau mempengaruhi urusan public untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan secara khusus pengertian Good and clean governance adalah
pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens)
kepada masyarakat dan pemerintah yang berkeadapan melalui wujud pemerintah yang
suci dan damai. Dalam
kontek Indonesia substansi good and
clean governance di padankan dengan pemerintah yang baik, bersih
dan berwibawa. Sedangkan dalam definisi lain, pengertian good and clean governance adalah
pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah
bangsa. Pelaksanaan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan
dengan efektif dan efisien, responsive terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana
demokratis, akuntabel dan trasparan (Said, 2010).
Arti good dalam good gaverance mengandung dua pengertian
(Widodo, 2000 dalam Rakhmat 2009). Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi
kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemapuan rakyat dalam
pencapaian kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan social. Kedua
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada
demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti
legitimacy, accountability, autonomy and devolustion of power. Orientasi kedua
tergantung pada bagaimana pemerintahan mempunyai kompetensi serta struktur dan
mekanisme politik dan administrasi berfungsi secara efisien dan efektif.
2.2.
PRINSIP-PRINSIP GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Menurut Kumorotomo (2010), Untuk
merealisasikan pemerintahan yang professional dan akutanbel yang berdasarkan
pada prinsip-prinsip good and clean
governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental
yaitu :
- Partisipasi
- Penegakkan hukum
- Transparansi
- Rensponsif
- Orientasi kesepakatan
- Keadilan
- Efektifitas dan efesiensi
- Akutanbilitas
- Visi strategis
a. Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara
dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan prinsip
demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara
dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,
menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan (Ramadhan, 1989 dalam elbaruqy, 2010). Setiap
orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan
korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat). Dalam pasal 1,ayat 1, PP Nomor 71 Tahun
2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan,
organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi
masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta
menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang
menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat
1 peraturan pemerintah tersebut (Pengurus Pergerakan Indonesia, 2007 dalam
elbaruqy, 2010).
b. Penegakan hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintah
harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum.
Maka hal tersebut harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan
karakter-karakter antara lain:
- Supremasi hukum
Supremasi hukum
akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan
sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya).
- Kepastian hukum
Bahwa setiap
kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak
duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya.
- Hukum yang reponsif
Aturan-aturan hukum itu disusun
berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik.
- Penegakan hukum yang konsisten dan non diskrimatis
Bahwa penegakan hukum berlaku untuk
semua islam.
- Independensi peradilan
Bahwa peradilan tidak dipengaruhi oleh
penguasa.
c. Trasparansi
Hal ini mutlak dilakukan untuk
menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah. Terdapat 7
macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia, yaitu:
Transactive
corruption
Yaitu korupsi
yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari
transaksi dengan merugikan negara.
Investive
corruption
Yakni investasi yang belum memiliki
kepastian keuntungannya.
Neposistive
corruption
Yakni pemberian pekerjaan pada keluarga
sehingga mengurang efektifitas kontrol.
Defensive
corruption
Yakni pihak
korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan
prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.
Autogenic
corruption
Yakni korupsi
yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat
menguntungkan dirinya.
Supportive
corruption
Yakni korupsi untuk melindungi korupsi
yang lain yang telah dilakukannya.
Terdapat 8
aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan,
yaitu:
Penetapan
posisi dan jabatan
Kekayaan
pejabat publik
Pemberian
penghargaan
Penetapan
kebijakan
Kesehatan
Moralitas
pejabat
Keamanan dan
ketertiban
Kebijakan
strategis
d. Rensponsif
Pemerintah harus memahami kebutuhan
masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu keinginannya tetapi secara proaktif
mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk kemudian melahirkan
berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Sesuai asas rensponsif, setiap unsur pemerintah harus
memiliki 2 etika yaitu:
Etika
individual
Yakni
kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar
memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
Etika sosial
Yakni menurut
pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan publik.
Pemerintah bisa dikatakan baik jika
telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian negaranya.
Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian warganya hidup
tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit birokrasi. Terkait
asas rensponsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijaka-kebijakan pembangunan
terhadap semua kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Hal ini
karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dlam kemiskinan dan
terbelakang dari segi pendidikan namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan
disebabkan karena tidak ada program yang dilakukan pemerintah tetapi
secara kultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan.
e.
Konsensus
Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan
pemerintah karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga
akuntanbilitas dari proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan
berbagai kebijakan, pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu:
Optimistik
Yakni sikap
yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan
benar.
Keberanian
Yakni
keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran
sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa
atau organisasi tertentu.
Keadilan yang
berwatak kemurahan hati
Yakni kemampuan
untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
f. Kesetaraan
Yakni kesamaan dalam perlakuan dan
pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majmuk baik
etnis, agama dan budaya.
g. Efektifitas dan Efisiensi
Kriteria efektifitas biasanya diukur
dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar kepentingan masyarakat.
Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien.
h. Akutanbilitas
Akutanbilitas adalah pertanggung
jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk
mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas bertujuan agar para
pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik selalu terkontrol dan
tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan.
Secara teoritik akutanbilitas
menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan akutanbilitas horisontal.
Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan
rakyatnya. Pemegang kekuasaan dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan
kepada masyarakat apa yang telah dilakukan, sedang dan akan yang dilakukan
dimasa mendatang. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap
pejabat harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya
kepada atasan yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya
kepada gubernur.
Sedangkan akutanbilitas horisontal
adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik kepada lembaga yang setara,
seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD II.
i. Visi strategis
Visi strategis adalah pandangan
strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan
kemajuan tegnoliginya begitu cepat. Seseorang yang menempati jabatan publik
harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan
dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
2.3. PENGERTIAN
KORUPSI
Korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan
umum atau negara. Menurut perspektif hukum, definisi
korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam
UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut,
korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal
tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan sanksi
pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut
pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Kerugian keuangan negara
2.
Suap-menyuap
3.
Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5.
Perbuatan curang
6.
Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.
Gratifikasi
Selain
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada
tindak pidana
lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang
pada UU No.31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang
berkaitan dengan
tindak pidana korupsi itu adalah:
1.
Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2.
Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3.
Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4.
Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5.
Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan
keterangan palsu
6.
Saksi yang membuka identitas pelapor
a.
Asal usul korupsi di negara berkembang
Sesungguhnya sejarah perkembangan
korupsi beserta upaya pemberatasannya, terutama dalam skala mega, sudah
berlangsung sejak tengah dasawarsa 1950-an. Dimulai ketika terjadi abuse of
power oleh menteri ekonomi kala itu, Iskak Tjokroadisuryo, pada Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Korupsi berupa pemberian lisensi impor dari Politik Benteng
dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten dan diberikan
kepada konco-konconya. Lisensi-lisensi tersebut akhirnya dijual kepada
pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah ''pengusaha Ali-Baba''.
PM Burhanuddin Harahap yang bekerja
sama dengan TNI AD mengambil kebijakan antikorupsi yang efektif, yakni
meluruskan pelaksanaan Politik Benteng. Karena kabinet ini umurnya pendek,
upaya penegakan pemerintahan bersih tenggelam dengan suasana konflik politik
antarpartai dalam Konstituante yang akhirnya Presiden Soekarno membubarkan
Konstituante itu pada 5 juli 1959. Pada saat yang hampir sama, Soekarno
melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Karena ketidaksiapan dalam mengisi
pengganti manajemen dari asing ke tangan nasional, maka dari sini pula sejarah
bancakan perusahaan negara (belakangan dikenal BUMN), banyak dilakukan
pihak-pihak partai.
Kedahsyatan korupsi mengalami momentum
pada pemerintahan lebih 30 tahun Orde Baru. Di mulai korupsi skala mega yang
dialami Pertamina (1975) dengan kerugian diperkirakan sekitar 12,5 miliar dolar
AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan
mengalirnya dana utang luar negeri rata-rata 5 miliar dolar AS per tahun (saat
lengser Pak Harto stok utang sekitar 70 miliar dolar AS), investasi langsung
perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam (terutama migas dan hutan) yang
menjadi sumber dana domestik yang kolosal, maka pertumbuhan dan
perkembangbiakan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti, sogok, perkoncoan,
premanisme, dll) maupun bentuk baru (kolusi birokrat-pengusaha, kolusi
bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan,
kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopoli-oligopoli
serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dst).
Kesemua itu menjadikan potensi
pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya 7 persen per
tahun. Perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen hingga lebih dari
50 persen. Pada saat krisis tahun 1977 terjadi capital flight. Simpanan orang
Indonesia di luar negeri akibat pelbagai kebocoran alias korupsi tersebut
menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar 85 miliar dolaar AS (atau
sekitar Rp 750 triliun). Upaya pembentasan korupsi kala Orba sejak awal sudah
ada. Mulai dengan adanya Komisi 4 dengan penasihatnya mantan Wapres Bung Hatta.
Namun rekomendasinyapun tak digubris. Kemudian di luar Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang telah tercantum dalam UUD 45, pemerintah Soeharto membentuk
Inspektorat Jenderal di tiap lembaga negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebagai kontrol yang dikendalikan langsung presiden.
Namun efektivitasnya bukan hanya
diragukan bahkan menjadi sumber kobocoran baru dengan terjadinya pengaturan
laporan keuangan dan pelbagai bentuk KKN. Akhirnya BPK pun menjadi mandul dan
malahan menjadi pengganda kebocoran. Wapres yang fokus kepada pengawasan serta
juga ada menko dan menneg PAN yang juga bertugas untuk pengawasan pun hampir
tak pernah terdengar kiprahnya. Barangkali semua itu karena sifat pemerintahan
dan sistem politik otoritarian dan sentralistik sehingga sistem check and
balance dari DPR maupun yudikatif menjadi lumpuh. Pers pun dibungkam bahkan
para aktivis kritis pun banyak ditangkap.
Reformasi yang dilakukan sejak 1998
hingga sekarang juga baru menyentuh secara politik. Dan korupsi pun makin
mengalami ramifikasi baik vertikal (menyebar ke daerah) maupun horizontal
(bukan hanya di pemerintah dan lembaga yudikatif tapi juga ke DPR) sehingga
popular dengan adanya ''korupsi berjamaah''. Modus operandinya di samping yang
tradisional dan modern tak pernah hilang bahkan tipikal pascamodern pun
bermunculan seperti lenyapnya keuangan negara ratusan triliun karena gelontoran
dana rekap perbankan. Kemudian pembobolan bank (skala triliunan antara lain
BNI, Mandiri), illegal logging, illegal fishing, penyelundupan komoditas
strategis (migas, gula, beras, dst). Yang lebih baru adalah politik uang dalam
sistem politik di pusat (KPU, pemilihan ketua partai, promosi jabatan di
pemerintahan dan BUMN, dst), di daerah (pilkada oleh DPRD maupun pilkada
langsung), dan masih banyak lagi. Upaya pemberantasan korupsi di masa reformasi
ini dimulai momentum dengan adanya kebebasan pers dan kebebesan politik
umumnya.
Dalam pelembagaannya dimulai dengan
pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang mulai
terjadi sedikit gereget dengan terungkapnya daftar kekayaan berbagai pejabat
tinggi yang abnormal. Misalnya terungkapnya misteri kekayaan Jaksa Agung MA
Rahman dan pejabat lainnya meski satu pun dari temuan itu tak ada tindak lanjut
secara hukum. Malahan oleh pemerintahan Megawati KPKPN ini pun ''dibubarkan''
dan dintegrasikan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pada pemerintahan Megawati keberadaan KPTPK ini pun sulit berperan, karena
konon sulitnya pemberian izin bagi pejabat untuk diperiksa.
Baru sejak pemerintahan SBY sedikit
terkuak harapan dengan lebih lancarnya izin tersebut dengan mulai adanya
pemeriksaan (misal kasus KPU dan Bank Mandiri) bahkan juga mulai ada yang
divonis (kasus pimpinan DPRD Sumbar dan pejabat daerah lainnya, kasus Gubernur
Abdullah Puteh dan Kharis Walid). Patut dicatat dengan sedikit ada harapan ini,
tak luput dari peran BPK sejak dipimpin Billy Joedono dan diteruskan oleh Anwar
Nasution yang menguak data-data penyelewengan skala mega di pelbagai lembaga
strategis. Namun, kesan masih memburu kasus sensitif secara politis dalam
pemberantasan korupsi ini masih belum pupus, karena untuk kasus lebih kolosal
semisal kasus BLBI yang nilainya puluhan triliun masih belum tersentuh sama
sekali.
Dengan perkembangan tersebut, Indonesia
menurut berbagai lembaga pemeringkat internasional sejak awal tahun 90-an
hingga sekarang selalu masuk kategori negara terkorup. Gejala korupsi ini
seperti belum terbersit harapan untuk pemberantasannya. Hal ini karena korupsi
telah kadung menjadi kebudayaan (Damanhuri, 2007 dalam elbaruqy, 2010).
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi antara lain:
Ø Kemiskinan
Korupsi dengan
latar belakang kemiskinan berasal dari kebutuhan.
Ø Kekuasaan
Kekuasaan
sering membuat orang bertindak sewenang-wenang dan mengambil keuntungan dengan
kekuasaan yang dimilikinya.
Ø Budaya
Dari hasil
penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem keluarga
besar, yaitu masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota
keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar itu.
Ø Ketidaktahuan
Ini adalah
alasan yang mengada-ada karena dana yang diberikan sering tidak diketahui
peruntukannya. Karena tidak tahu dan tidak perlu mencari tahu maka ketika ada
masalah dana tersebut dijadikan sebagai korupsi.
Ø Rendahnya
kualitas moral masyarakat
Ø Lemahnya
kelembagaan politik suatu negara
Kelembagaan
yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Jika kasus korupsi tidak
ditangani sungguh-sungguh maka akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa
korusi ”aman” dilakukan asal membayar ”harga tertentu”.
Ø Menjadi
penyakit bersama.
Sebagai sebuah
penyakit maka dengan cepat menular dari kawasan satu kekawasan lain.
b.
Dampak korupsi
Beberapa hal yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan:
Ø Kegagalan
mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah.
Ø Menular
kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan berlebihan,
menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta.
Ø Kenaikan harga
administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa kalilipat untuk pelayanan
yang sama.
Ø Mengurangi
jumlah dana yang disediakan untuk publik.
Ø Merusak moral
aparat pemerintah.
Ø Menurunkan rasa
hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah.
Ø Pribadi yang
hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk kemakmuran bersama di
masa mendatang.
2.4. HUBUNGAN ANTARA CLEAN AND GOOD
GOVERNANCE DENGAN GERAKAN ANTI KORUPSI
Clean and good governance meniscayakan adanya transparansi
disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan
kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau
golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa grand design dalam
menciptakan situasi perang terhadap korupsi:
Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang
diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut
hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan
paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari
semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum
agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya.
Kedua, menghindari politik belah bambu yang
menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara
politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan
politik.
Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi
terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas.
Keempat, euforia elite politik di pusat dan
daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan
pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang
ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran
rakyat yang semakin sejahtera (Damanhuri, 2007 dalam elbaruqy, 2010).
2.5 HUBUNGAN
ANTARA GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DENGAN DENGAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN
PUBLIK
Dalam rangka menyelamatkan keuangan
negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas
keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara,
mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah
dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan
dalam pelaksanaan anggaran.
Tentu bukan soal yang mudah dalam
mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya
kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut
(Rahayu, 2009 dalam elbaruqy, 2010). Dengan tiga pilar pelayanan public menjadi
titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean and good
governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni:
Pelayanan
publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah
berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
Pelayanan publik tempat dimana
berbagai aspek Clean and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.
Pelayanan
publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
BAB III
ANALISIS KAJIAN
3.1 Analisis Kajian
Pemerintahan
yang baik dan bersih atau good and clean goveranace merupakan prinsip
pemerintahan yang didambakan dan diharapkan oleh setiap rakyat di seluruh
penjuru dunia. Untuk merealisasikan hal itu, maka ada 9 aspek fundamental yang
harus dijalankan, antara lain: Partisipasi, Penegakkan hukum, Transparansi, Rensponsif, Orientasi
kesepakatan, Keadilan, Efektifitas dan efesiensi, Akutanbilitas, Visi strategis.
Idealnya aspek-aspek tersebut telah ada
dan tercermin di dalam diri pemerintah yang berkuasa, begitu juga dengan
pemerintahan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini masih aspek-aspek
tersebut masih belum dapat sepenuhnya dipenuhi dan dijalankan oleh pemerintahan
berkuasa saat ini. Bahkan saat ini masih banyak pengingkaran-pengingkaran
aspek-aspek fundamental tersebut, salah satunya adalah korupsi.
Di Indonesia korupsi seolah-olah telah
menjadi kebudayaan yang cenderung dilestarikan oleh penguasanya dan seakan-akan
dibiarkan oleh masyarakatnya, meskipun kini kesadaran akan bahaya laten korupsi
sudah mulai dapat dirasakan. Lembaga yang khusus menangani masalah korupsipun
telah didirikan. Akan tetapi, pada praktiknya tingkat korupsi di Indonesia
masih sangat tinggi. Bahkan di tingkat ASEAN Indonesia memegang predikat negara
terkorup.
Predikat terkorup merupakan suatu
predikat yang sangat memalukan bagi seluruh rakyat indonesia. Akan tetapi
sampai detik ini masih belum ditemukan suatu regulasi yang benar-benar dapat
mengatasi masalah korupsi yang sudah menjalar di seluruh bidang tanpa
terkecuali.
Oleh karena itulah, dibutuhkan sosok
pemimpin-pemimpin baru yang mampu membawa perubahan yang signifikan dalam
penciptaan atmosfir pemerintahan yang mencerminkan prinsip good & clean
governance. Selain itu, konsep pemerintah-penguasa haruslah di hapuskan dan
digantikan dengan konsep pemerintah-pelayan, sehingga pemerintah tak lagi
memandang sebelah mata terhadap rakyatnya.
Menurut Kaharstia (2011), Ciri pemerintahan masa depan,
memiliki akuntabilitas dan transaparansi dalam pemecehan berbagai permasalahan
pemerintahan yang semakin kompleks dan dinamis sebagai akibat perkembangan yang
terjadi dewasa ini. Olehnya, menyikapi tuntutan dan kemajuan serta perkembangan
yang terjadi dewasa ini, maka pembangunan sector public, diarahkan untuk
mewujudkan birokrasi pemerintahan yang mampu mengelola pemerintahan Negara dan
pembangunan bangsa secara efisien, efektif dan akuntabel.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai agent
of chage juga tak boleh berdiam diri dan berpangku tangan menunggu hadirnya
pemimpin-pemimpin baru yang mampu menghadirkan perubahan tersebut, tetapi
mahasiswa harus memulai membuat perubahan-perubahan mulai dari dirinya sendiri
dan selanjutnya mengajarkan, menularkan dan menyebarkan perubahan-perubahan
yang menuju ke arah kebaikan.
Selain itu, dibutuhkan juga koordinasi
dan kerja sama seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan dan mengkondisikan
terciptanya sistem pemerintahan yang mencerminkan prinsip good & clean
governance. Selain menkondisikan, kita juga harus selalu membuka mata dan bukan
menutup mata untuk membiarkan atau bahkan memberikan kesempatan bagi
oknum-oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi dan merugikan
banyak orang.
Ketika semua lapisan masyarakat telah
mengetahui tugas dan haknya masing-masing, maka penyimpangan-penyimpangan yang
kini banyak terjadi akan dapat diminimalisir atau bahakan di hilangkan dari
permukaan bumi pertiwi, yaitu Indonesia tercinta. Negeri yang sebenarnya kaya,
akan tetapi dimiskinkan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari penjabaran pembahasan diatas, kami
penulis menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
- Good and Clean Governance sebagai wacana bagi
pemerintah untuk mewujudkan kepemerintahan yang besih, profesional,
akuntanbel dalam segala bidang, serta bebas dari mala praktek yang
merugikan negara.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah
bisa lebih transparan dalam pelayanan publik, dan bisa meningkatkan
kinerja birokasi.
- Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah
bisa mempunyai monitoring yang handal dari kalangan swasta atau masyarakat
pada umumnya.
- Good
and Clean Governance adalah landasan untuk menciptakan negara yang kuat,
kokoh, tangguh dalam segala aspek.
3.2. Saran
- Good and Clean Governance harus dijalankan semaksimal
mungkin oleh kalangan birokrasi atau kalangan pemegang kekuasaan dan juga
harus didukung oleh masyarakat. Kalau semua sudah maksimal maka pemerintah
akan selalu memegang teguh peraturannya yakni (bebas KKN).
- Pemerintah harus transparan dalam hal dalam
pelayanan publik, supaya negara terbebas dari oknum-oknum yang merugikan
negara.
- Supaya pemerintah menggalakkan kepada semua kalangan
kepemerintahan mulai dari RT sampai ke Pejabat yang paling tinggi.
- Supaya pemerintah mengadakan semacam seminar-seminar
wawasan kebangsaan kepada semua masyarakat umumnya, khususnya kepada para
Pejabat Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Elbaruqy. 2010. Good and clean governance. (online).(http://elbaruqy.blogspot.com/2010/04/ good-and-clean-governance.htmlvvv). Diakses pada 24 Oktober 2011
Kumorotomo, Wahyudi. 2010. Reformasi Aparatur Negara
Ditinjau Kembali. Gava Media : Yogyakarta.
Kaharstia. 2011. Mewujudkan
Good Governance. (online). (http://kaharstia.dagdigdug.com /2011/01/29/11/). Diakses pada 24 Oktober 2011
Rakhmat,
2009, Teori Administrasi dan Manajemen Publik, Pustaka Arif : Tanggerang Banten.
Rosyada, et. Al. 2007, Dede. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Tata
kelola Good & Clean Governance,
ICC UIN Malang: Jakarta
Said, M. Mas’ud. 2010. Birokrasi Di Negara Birokratis.
UMMPRESS : Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar