BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sejak beratus-ratus
tahun yang lalu disebarkan mitos-mitos yang menyatakan, bahwa politik adalah
proporsi dan urusan negara atau pemerintah. Dalam hal ini rakyat tidak perlu
repot-repot ikut mengurusi atau justru tidak diperbolehkan ikut campur di
dalamnya. Masalah politik diserahkan saja kepada pemerintah, agar rakyat bisa
hidup tenang dan ikut berbaris rapi dalam kader-hukum yang sudah dihasilkan
oleh pemerintah dan kaum elit politis. Sebab politik adalah peristiwa yang
sangat kompleks, sehingga rakyat biasa yang “bodoh dan terbelakang” itu tidak
perlu tahu tentang politik; dan memang dianggap “bodoh secara politik”(Kartono,
1989).
Sekarang ini, konsep
mengenai politik telah disempitkan pengertiannya menjadi sekedar cara
memperoleh jabatan dalam pemerintahan. Padahal, jauh lebih luas dari pengertian
itu, politik adalah seni membuat segala sesuatu yang tidak mungkin di hari esok
menjadi mungkin hari ini. Atau, dengan kata lain, politik juga bisa dimaknai
sebagai seni membangun kekuatan sosial sebagai bentuk penentangan terhadap
sistem (penindasan).
Karena pengertian
sempit itulah, ditambah petuah-petuah dari begitu banyak ilmuwan politik kanan
dan liberal, maka rakyat pun dibuat semakin sinis terhadap politik, partai
politik maupun politisi. Pertumbuhan kekecewaan atau skeptisisme terhadap
politik, sebagaimana dikatakan oleh Marta Harnecker, seorang sosiolog kiri
Amerika Latin, tidaklah begitu mengkhawatirkan bagi politik kanan (liberal).
Sebab, seperti direkam oleh sejarah, kaum kanan dapat berkuasa dengan
kediktatoran militer ataupun kebiasaan mereka akhir-akhir ini untuk
menggantikan politisi dengan teknokrat (Berdikari online, 2011).
Oleh karena itu,
perlu sebuah metode yang dapat mencerdaskan politik di tengah-tengah kehidupan
rakyat, salah satunya adalah melalui pendidikan politik yang baik, yaitu yang
benar-benar mencerdaskan bukan malah menyesatkan. Menurut Naning (1982), untuk
mencerdaskan kehidupan politik rakyat maka pendidikan politik memandang masyarakat
tidak hanya sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek. Hal ini berarti bahwa
pendidikan politik bukan semata-mata tanggungjawab pemerintah, melainkan juga
tanggungjawab masyarakat. Pemerintah dalam hal ini memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam menumbuhkan tata-fikir dan tata-laku sesuai dengan norma
Pancasila. Dengan meningkatkan kecerdasan bangsa maka akan terbentuk pula pola
tingkah laku bangsa yang peka, yang dapat menilai dan mampu mengambil
keputusan, dan mampu pula bertindak sesuai dengan kesepakatan bersama seluruh
bangsa.
Kesadaran akan
kehidupan kenegaraan tersebut tidak mungkin ada bila tidak tumbuh atau
ditumbuhkan, melalui pendidikan politik rakyat, dengan demikian kesadaran
kehidupan kenegaraan bukanlah hanya dalam artian politik saja, melainkan juga
dalam artian ekonomi, social budaya, hukum, agama, serta pertahanan-keamanan.
1.2
Rumusan
Masalah
a.
Apakah
definisi dari pendidikan politik
b.
Bagaimanakah
bentuk-bentuk pendidikan politik yang dapat dilakukan
c.
Apa
sajakah faktor-faktor yang berpengaruh di dalam proses pendidikan politik
d.
Bagaimanakah
pendidikan politik yang baik
e.
Dampak
implementasi pendidikan politik
1.3
Tujuan
a. Mengetahui apakah definisi dari pendidikan politik
b. Mengetahui bagaimanakah bentuk-bentuk pendidikan politik yang dapat
dilakukan
c. Mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang berpengaruh di dalam
proses pendidikan politik
d. Mengetahui bagaimanakah pendidikan politik yang baik
e. Mengetahui dampak implementasi pendidikan politik
1.4
Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa :
a. Memahami makna serta
urgensi dari pendidikan politik beserta segala yang melingkupinya.
b. Mampu menerapkan dan
mengaplikasikan konsep-konsep pendidikan politik yang baik dan benar.
1.4.2 Bagi penyusun
:
a. Membiasakan diri untuk menyelesaikan suatu
masalah.
b. Menjadi salah satu sarana untuk melatih diri
mengembangkan bakat dalam menulis dan meneliti.
c. Menghasilkan karya yang dapat bermanfaat bagi
masyarakat.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pendidikan
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai
usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di
dalam masyarakat dan kebudayaan.Dalam perkembangannya, istilah pendidikan
atau berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja
oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan
sebagai usaha yang dijalankan oleh seorang ataukelompok orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupanyang lebih tinggi dalam arti
mental.( Hasbullah, 2006).
Kenyataannya, pengertian pendidikan ini selalu mengalami
perkembangan, meskipun
secara essensial tidak jauh berbeda. Menurut Hasbullah (2006), ada sejumlah pengertian pendidikan
yang diberikan oleh para ahli pendidikan, antara lain:
1. Langeveld
Pendidikan
ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh
itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku,
putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan dilanjutkan kepada orang yang belum
dewasa.
2. John Dewey
Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke
arah alam dan sesama
manusia.
3. Ahmad D. Marimba
Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
4. Ki Hajar Dewantara
Pendidikan
yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2.2
Politik
Menurut Budiardjo (1991), perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis
berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri
(negara), sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai arti yang
berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian arti politik disampaikan
beberapa arti politik dari segi kepentingan penggunaan, yaitu:
Ø Dalam
arti kepentingan umum (politics)
Politik
dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang
berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut
Politik (Politics) yang artinya adalah
suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki
disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai
keadaan yang kita inginkan.
Ø Dalam
arti kebijaksanaan (Policy)
Politik
adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih
menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki. Dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya :
· Proses pertimbangan
· Menjamin terlaksananya suatu usaha
· Pencapaian cita-cita/keinginan
Jadi politik adalah tindakan dari suatu kelompok individu
mengenai suatu masalah dari masyarakat atau negara.
Dengan
demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan :
a) Negara
Adalah
suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang
ditaati oleh rakyatnya. Dapat dikatakan negara merupakan bentuk masyarakat
dan organisasi politik yang paling utama
dalam suatu wilayah yang berdaulat.
b) Kekuasaan
Adalah
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginannya. Yang perlu diperhatikan dalam
kekuasaan adalah bagaimana cara memperoleh kekuasaan, bagaimana cara
mempertahankan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan.
c) Pengambilan
keputusan
Politik
adalah pengambilan keputusan melaui sarana umum, keputusan yang diambil
menyangkut sektor publik dari suatu negara. Yang perlu diperhatikan dalam
pengambilan keputusan politik adalah siapa pengambil keputusan itu dan untuk
siapa keputusan itu dibuat.
d) Kebijakan
umum
Adalah
suatu kumpulan keputusan yang diambill oleh seseorang atau kelompok politik
dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu.
e) Distribusi
Adalah
pembagian dan pengalokasian nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Nilai adalah
sesuatu yang diinginkan dan penting, nilai harus dibagi secara adil. Politik
membicarakan bagaimana pembagian dan pengalokasian nilai-nilai secara mengikat
2.3
Pendidikan politik
Istilah pendidikan politik dalam bahasa Inggris sering
disamakan dengan istilah political sosialization. Istilah political
sosialization jika dikaitikan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan
bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu dengan menggunakan istilah
political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik
dengan istilah sosialisasi politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain,
sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit.
Menurut Ramlan Surbakti, dalam memberikan pengertian
tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai
sosialisasi politik. Surbakti (1999) berpendapat bahwa : Sosialisasi politik
dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan
politik merupakan suatu proses dialegik diantara pemberi dan penerima pesan.
Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari
nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai
pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Kartaprawira (2004) mengartikan pendidikan politik
sebagai "upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar
mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam system politiknya." Berdasarkan
pendapat Rusadi Kartaprawira tersebut, maka pendidikan politik perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan
pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan.
Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat
masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan
berubah-ubah.
Buchori (2001) mengemukakan bahwa terdapat beberapa
pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap
hubungan antara pendidikan dan politik yaitu : Pertama, adanya kesadaran
tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya
kesadaran akan peran panting pendidikan dalam menentukan gerak dan arah
kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang
lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan
(civic education).
Penjelasan Buchori di atas, menggambarkan suatu
keyakinan terhadap hubungan erat antara
pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang sangat kuat bahwa
melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas.
Paparan penjelasan di atas, pada akhimya dapat
menimbulkan satu pertanyaan mengenai hubungan pendidikan dengan politik.
Akankah politik harus memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan
tujuannya dan juga sebaliknya'?. Melalui pendidikan seorang siswa akan paham
secara tidak langsung mengenai seluk beluk politik. Begitu pula sebaliknya,
bahwa dunia politik adalah salah satu sarana untuk mengaplikasian berbagai ilmu
yang telah didapat siswa melalui dunia pendidikan. Para siswa tidak dapat acuh
terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar dunia sekolahnya. Sekiranya
penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan
tak dapat dipisahkan antara pendidikan dan politik. Kedua aspek tersebut
memiliki hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain.
Pendidikan politik yang dikemukakan oleh Alfian (1986)
dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, sebagai berikut:
"Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu system politik yang
ideal yang hendak dibangun". Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan
politik menuxut lnstruksi Presiden No. 12 tahun 1982 tentang Pola Pembinaan dan
Pengembangan Pendidikan Politik Generasi muda adalah sebagai berikut:
"Pendidikan politik menipakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan
memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian
Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga
harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang
sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik
yang benar-benar demokratis, stabil, efektif,dan efisien".
Dengan demikian pendidikan politik adalah proses
penanaman nilai—nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu negara yang
dilakukan dengan sadar, terorganisir, terencana dan berlangsung kontinyu dari
satu generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa
(national character building). Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai—nilai
Pancasila, tiada lain merupakan cerminan hati nurani dan sifat khas
karaktonstik bangsa, bukanlah nilai-nilai yang secara hakiki lahir pada saat
kemerdekaan, melainkan telah tumbuh dan berkembang melalui proses sejarah yang
panjang. Nilai ini berasal dari kodrat budaya dan menjadi milik soluruh rakyat.
Hal ini tercermin dalam watak, kepribadian, sikap, dan tingkah laku bangsa.
2.4
Tujuan dan Fungsi Pendidikan politik
Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan
isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang
berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha
pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatis yaitu dengan menanamkan
nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa
Indonesia serta dasar untuk membina dan
mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan
bangsa dan negara.
Pemasyarakatan nilai-nilai pendidikan politik
di Indonesia sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum masa kemerdekaan melalui
berbagai kegiatan organisasi dan gerakan politik, baik di dalam maupun di luar
negeri yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia guna memperoleh hak
politiknya yang dibelenggu oleh mekanisme penjajahan.
Menurut Kartono (1989), tujuan pendidikan politik
ialah:
1)
Membuat rakyat
(individu, klien, anak didik, warga masyarakat, dan lain-lain):
a.
Mampu memahami
situasi sosial-politik yang penuh konflik
b.
Berani memberikan
kritik membangun terhadap kondisi masyarakat yang tidak mantap.
c.
Aktivitasnya
diarahkan pada proses demokrasi sejati.
d.
Sanggup
memperjuangkan kepentingan ideologi tertentu khususnya yang berkorelasi dengan
keamanan dan kesejahteraan hidup bersama
2)
Memperhatikan :
a.
Peranan insan dari
setiap individu sebagai warga negara
b.
Mengembangkan semua
bakat dan kemampuannya (pengetahuan, wawasan, sikap, ketrampilan dan lain-lain)
c.
Agar ia bisa aktif
berpartisipasi dalam proses politik, demi pembangunan negara dan bangsa.
Khusus bagi generasi mudanya, tujuan pendidikan
politik di Indonesia ialah:
ü
Membangun generasi
muda Indonesia yang sadar politik dan sadar akan kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan PANCASILA dan UUD 1945.
ü
Sebagai salah satu
usaha membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang perwujudtannya tercermin
dalam sejumlah sifat watak/karakteristik kepribadian Indonesia.
Ciri karakteristik kepribadian Indonesia tersebut
antara lain ialah:
1)
Sadar akan hak,
kewajiban dan tanggungjawab etis/moril dan politis terhadap kepentingan bangsa
dan negara, yang ditampilkan dalam wujud keteladanan yang baik.
2)
Dengan sadar menaati
hukum dan UUD 1945, memiliki disiplin pribadi, serta disiplin social dan
kesadaran nasional yang tegus dan tidak sempit/chauvinistis.
3)
Berpandangan jauh
kedepan; memiliki tekad perjuangan untuk mencapai taraf kehidupan bangsa yang
lebih tinggi, didasarkan pada kemampuan obyektif dan kekuatan kolektif bangsa
Indonesia.
4)
Aktif dan kreatif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kegiatan pembangunan
nasional dan pembangunan politik.
5)
Secara
berkesinambungan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan
adanya keaneka ragaman suku-suku bangsa, dan mendukung system kehidupan
nasional yang demokratis.
6)
Sadar akan perlunya
memelihara lingkungan hidup manusia dan alam, agar menjadi lestari, laras, dan
imbang.
7)
Mampu menilai-ulang
semua gagasan asing dan nilai-nilai asing yang kurang/tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia, yang banyak berkecambuk di tengah masyarakat
kita; dan sanggup menanggulangi ancaman-ancaman yang bersumber dari luar
PANCASILA dan UUD ’45 atau dari negara luar, atas dasar penalaran sehat
mengenai bela negara.
8)
Pendidikan politik di
Indonesia adalah khas bersumber pada aspirasi yang digali dari kepribadian
bangsa sendiri, dan telah disepakati secara nasional, demi tegaknya Republik
Indonesia dan demi pencapaian tujuan-tujuan politik negara serta bangsa.
2.5
Sarana Pendidikan Politik
Menurut Ruslan
(2000), lembaga-lembaga pendidikan politik
terdiri dari lembaga formal dan informal.Keluarga,
sekolah, partai-partai politik, dan media massa dengan segala
jenisnya,merupakan sarana-sarana pendidikan yang paling esensial. Peran yang
dapat dimainkanoleh lembaga-lembaga tersebut dalam pendidikan politik dapat
diuraikan secara ringkassebagai berikut:
a. Keluarga
Keluarga
merupakan lembaga pendidikan politik yang paling utama dan paling urgen selama
masa kanak-kanak. Keluarga memainkan peran fundamental dalam hal ini. Pengaruh
yang paling nyata adalah bagaimana keluarga dapat membangun afiliasi dan
loyalitas politik dasar anak-anaknya; membentuk rambu-rambu dasar kepribadian
yang nantinya akan memberikan kontribusi dalam menumbuhkan orientasi politik
anak-anak, dan mengembangkan kesadaran serta pemikiran politik mereka. Keluarga
juga berperan dalam membangun persepsi politik, seperti persepsitentang
kekuasaan, yang nantinya akan berperan dalam membentuk kesadaran politiknya
sebagai warga Negara. Bahkan pengalaman-pengalaman individu dalam berinteraksi
dengan “kekuasaan” orang tuanya, secara parsial akan menentukan cara
berinteraksinya dengan kekuasaan di kemudian hari.
b. Sekolah
Sekolah
berpengaruh besar dalam pendidikan politik generasi muda. Ia memainkan peran
tersebut melalui:
Pertama, pengajaran
politik. Ini dilakukan melalui mata pelajaran tertentu, seperti pendidikan
kebangsaan, sejarah, qira’ah (pelajaran
membaca), dan mahfudzat (hafalan) tentang sejarah mesir, misalnya. Sementara
itu, di Rusia kurikulum sejarah digunakanuntuk melakukan doktrin politik atau
pengajaran dan penokohan ideology politik, disamping berbagai mata pelajaran
lain, seperti dasar-dasar konsepsi politik dan ekonomi politik.
Kedua,
karakter system sekolah. Suasana umum di sekolah dengan sistemnya,memainkan
peran penting dalam membentik sensitivitas siswa terhadap dinamika kepribadian
dan mengarahkan pandangan mereka terhadap bangunan politik yang ada.Hal ini
merupakan pengaruh dari:
v Kualitas
pengajar.
Manakala
ia benar-benar menguasai materi pelajarannya dan dekatdi hati siswa, yakni
dengan ideology yang dianut dan berkomitmen dalam perilakunya, ia akan
lebih bisa menanamkan ideologi tersebut dalam akal murid-muridnya.
v Hubungan
guru dengan muridnya.
Terkadang
ada guru yang otoriter, yang siswatidak berani memberikan kritik atau berbeda
pendapat dengannya. Ini jelas menghalangi pertumbuhan siswa untuk berdiskusi
dan mendengar pendapat orang lain. Yang terjadi adalah sebaliknya, jika iklim
demokratis antar guru dengan parasiswanya dapat terbangun.
v Organisasi-organisasi
sekolah
Organisasi-organisasi sekolah, seperti ikatan,
kelompok, dan asosiasi pelajar.Sensitivitas siswa akan kemampian diri dan
afiliasi komunalnya tergantung kepada banyak tidaknya organisasi siswa semacam
ini, dan tingkat kontribusisiswa di dalamnya.
c. Partai Politik dan Pressure Group Politik
Partai
politik khususnya di negara-negara berkembang memainkan peran penting
dalam menciptakan dan mengubah kultur politik. Partai menjadi lebih besar dari sekedar alat pemilu atau perkumpulan
yang mengartikulasikan sikap politik bagi sekelompok manusia, mengingat bahwa
ia memainkan peran besar dalam pendidikan politik. Berdirinya
partai-partai dalam suatu masyarakat merupakan media pendidikan politik
yang sesungguhnya. Partai
dan pressure
group politik,
sampai batas tertentu memainkan perannya dalam pendidikan politik melalui:
Pertama, pengajaran
politik yang benar. Hal ini dilakukan dengan mengadakan berbagai
pertemuan, muktamar, resepsi, program pelatihan politik, pengajaran sejarah nasional, serta publikasi program
dan pandangan politik di berbagai jurnal dan buletinnya. Partai termasuk
lembaga pendidikan yang memberikan berbagai informasi politik, ekonomi dan
sosial kepada rakyat dengan cara sederhana, namun membangkitkan kesadaran politik mereka. Di samping
itu, partai bekerja untuk memobilisasi rakyat di belakang berbagai
pandangan politik, tujuan, dan program tertentu, melalui
penyadaran politik. Partai merupakan alat untuk menciptakan perubahan
orientasi politik dan perilaku masyarakat.
Kedua, pemberian
kesempatan untuk partisipasi politik secara teratur dan dalam bentuk yang
lebih kontinu. Huntington menegaskan bahwa sarana institusional yangutama untuk
mengatur keluasan partisipasi politik adalah partai politik. Ia dapat dapat member bingkai yang lebih penting
dan serasi untuk mewujudkan partisipasi politik. Partisipasi ini akan menyebabkan
semakin kokohnya nilai-nilai yang sudah ada, atau bias juga menyebabkan
tertanamnya nilai-nilai baru. Munculnya partai-partai juga menumbuhkan keinginan anggota
masyarakat untuk melakukan praktek politik dan berpartisipasi di dalamnya,
jika mereka memiliki harapan atau optimisme bahwa partisipasi tersebut
tergantung kepada kemampuan dan kecakapan mereka.
Ketiga, kehidupan partai termasuk media
penyiapan dan pelatihan bagi individu untuk berani mengambil keputusan dan
berpikir independen mengenai berbagai masalah umum, serta kemampuan untuk bersikap
kritis dan menentukan pilihan, yang merupakan kemampuan-kemampuan dasar bagi
sebuah partisipasi yang matang.
d. Media Informasi dan Komunikasi
Publik
Yang
dimaksud dengan informasi adalah berbagai berita, fakta, pemikiran,
dan pandangan, yang diungkapkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam kerangka
yang objektif, jauh dari ambisi dan interes tertentu, menggunakan instrumendan
sarana-sarana yang netral dengan tujuan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menyikapi berbagai
berita, fakta, pemikiran, dan pandangan itu, agar mampumembangun pandangan yang
khas baginya dan memungkinkan untuk mengambil sikap yang ia anggap tepat.
Media-media informasi yang mempunyai pengaruh kuat adalah radio, televise, pers, bioskop,
teater, buku, mimbar-mimbar masjid, lembaga-lembaga ilmiah, gelanggang budaya, lembaga
pendidikan, asosiasi-asosiasi moral, dan sebagainya.
Banyak
studi yang menyatakan bahwa media-media informasi (khususnya radio,media cetak,
dan televisi) memberikan kontribusi peran yang besar dalam sosialisasi (pendidikan) politik. Penggunaan
media-media informasi tersebut mempermudah sosialisasi berbagai pemikiran,
prinsip, dan pengetahuan yang menjadikannya berpengaruh terhadap orientasi
dan pemikiran masyarakat, juga member bekal kepada mereka dengan pengalaman-pengalaman
politik, yang dengannya akan terbentuk opini public dalam masyarakat.
Selain itu, juga menciptakan rasa “ikut berpartisipasi secara langsung” dalam aktivitas politik
pada mereka yang menerima informasi tersebut. Disamping itu, ia juga ikut andil
dalam membentuk nilai-nilai politik mereka.
e. Pemilihan Umum (PEMILU)
Menurut
Naning (1982), pemilihan umum sebagai sarana demokrasi Pancasila wajib kita
kembangkan melalui pndidikan politik rakyat, karena selain dapat meningkatkan
kesadaran setiap warga negara dalam menggunakan hak, kewajiban dan
tanggungjawab, maka pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala setiap 5
tahun sekali, juga akan menumbuhkan dan menyuburkan kehidupan demokrasi
pancasila.
Menumbuhkan dan menyuburkan demokrasi pancasila adalah tugas kita semua
yang menginginkan tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali
pada pelaksanaan kemurnian pancasila dan kemurnian UUD 1945.
Di dalam jurnalnya yang berjudul Pemilu sebagai sarana pendidikan
politik Rai (2006), menyebutkan bahwa Melalui pemilu masyarakat terlibat dalam
suatu kegiatan politik secara langsung. Dari pengalamannya itu diharapkan lahir
kesan-kesan yang mendalam yang mempengaruhi orientasi nilai-nilai poiitik yang
mereka punyai.
Dalam suatu negara yang menganut sistem politik demokratis, pemilu
merupakan unsur pokok yang memiliki kedudukan sangat penting. Melalui pemilulah
sekelompok orang mendapat legitimasi rakyat untuk duduk dalam lembaga-lembaga
politik. Begitu pentingnya pemilu sehingga dalam beberapa hal tertentu
seringkali dijadikan ukuran bagi demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu maka
sangat masuk akal apabila pemerintahan negara-negara yang mengaku demokratis
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pemilu ini.
Tingkat kewibawaan suatu pemilu antara lain ditentukan oleh seberapa
basar masyarakat berperan serta di dalamnya. Kajian tentang pemilu dari sisi
keterlibatan masyarakat membawa kita kepada kajian tentang partisipasi politik.
Sebagaimana dimaklumi pemilu adalah salah satu bentuk partisipasi politik yang
paling nyata. Menurut Hungtington dan Nelson (1984, dalam Rai, 2006), ada dua
macam partisipasi politik yaitu : partisipasi politik yang otonom dan
partisipasi politik yang dimobilisasikan. Bedanya adalah bahwa yang pertama
kegiatan tersebut berdasarkan kepada niat pribadi orang itu, sedangkan yang
kedua kegiatan tersebut dilakukan karena mobilisasi (pakeaan, persuasi, atau
rangsangan materi) yang dilakukan oleh orang lain untuk kepentingan mereka.
Kalau yang pertama si pelaku menyadari betul tujuan dan konsekuensi-konsekuensi
yang mungkin terjadi akibat perbuatan itu, sementara yang kedua hal itu tak
dimengertinya.
Menurut teori, ada dua faktor yang mempengaruhi keikutsertaan seseorang
dalam partisipasi politik, yaitu faktor dari dalam dirinya dan faktor dari luar
dirinya. Faktor dari dalam adalah apa yang dinamakan kesadaran politik. Kesadaran
ini tumbuh sesuai dengan tingkat pendidikan dan proses sosialisasi politik yang
dialaminya. Perlu dijelaskan disini bahwa orang yang mempunyai kesadaran
politik tinggi tidak berarti ia akan selalu aktif dalam setiap kegiatan
politik, justru karena kesadaran yang dimilikinya ia bisa menentukan sikap
apakah akan ikut serta atau menolak suatu kegiatan. Fenomena "goIput"
barangkali dapat dijelaskan dalam kerangka ini.
Sedangkan faktor dari luar antara lain berkenaan dengan sistsm poiitik
yang berlaku dan tingkah laku para penyelenggara system tersebut. Seseorang
yang merasa pas dengan sistem politik
yang berlaku, dalam arti aspirasinya tersalurkan, atau kepentingannya
terlindungi akan cenderung aktif dalam kegiatan -kegiatan politik yang
mendukung sistem tersebut. Sebaliknya apabila ia tidak menyukai sistem politik
yang berlaku, maka ada dua kecenderungan yang akan dia ambil, pertama bersikap
diam atau apatis dan kedua aktif dalam kegiatan politik tetapi yang bertujuan
untuk menentang atau merubah sistem tersebut. Demikian pula prilaku politik
para penyelenggara negara (baca: pejabat. pemerintah) akan mempengaruhi
partisipasi politik masyarakat. Pejabat yang dapat dijadikan teladan akan
mendorong masyarakat umuk aktif dalam kegiatan politik,'sebaliknya bila prilaku
pejabat banyak yang tidak sesuai atau bertemangan dengan niiai-nilai yang
dianut maka masyarakat akan cenderung apriori dan akan lebih memilih diam. Saya
kira fenumena "golput" juga bisa dijelaskan dalam kerangka ini.
Dari uraian di atas terlihat bahwa hubungan antara pemilu dengan
pendidikan politik ini merupakan suatu hubungan yang timbal balik.
Keikutsertaan seseorang dalam pemilu antara lain dipengaruhi oleh pendidikan
politik yang dia terima dan dialami, sementara itu kegiatan pemilu yang diikuti
oleh orang tersebut dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi orang
tersebut. Dengan ikut sertanya ia dalam pemilu berarti dia mengalami secara
langsung suatu kegiatan politik yang (diharapkan ) dapat menumbuhkan kesan,
persepsi, sikap, serta perbuatan- perbuatan politik selanjumya. Masalahnya
adalah kegiatan pemilu yang bagaimana yang dapat menjadi sarana penelidikan
pulitik yang efektif, atau dalam komeke Indonesia, kegiatan Pemilu yang
bagaimana yang dapat menumbuhkan atau memperkuat persepsi, sikap dan orientasi
tindakan politik Demokrasi Pancasila. Barangkali ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan;
Pertama, karena pemilu merupakan perangkat dari suatu sistem politik
yang demokratis maka pelakeanaan pemilu ini harus menjunjung tinggi nilai—nilai
demekrasi. Secara formal di Indonesia nilai-nilai demokrasi ini dijabarkan
dalam asas pemilu yang dikenal dengan sebutan LUBER. Seandainya asas-asas ini
telah tercermin dalam praktek (bukan hanya slogan) maka dapandipastikan kadar
efektivitas pendidikan politiknya tinggi. Jadi disini bisa dikatakan semakin
demokratis pelaksanaan psmilu maka semakin tinggi kadar efektivitas psndidikan
politiknya.
Kedua, mengingat partisipasi politik yang otonom lebih bemilai
dibandingkan dengan partisipasi politik yang dimebilisasikan maka dalam
pelakeanaan pemilu harus dihindari upaya mobilisasi yang berlebihan. Pemerintah
atau organisasi peserta pemilu memang harus mengajak masyarakat untuk berperan
serta dalam pemilu tetapi hcndaknya hal itu dilakukan secara persuasif. Setiap
tindakan yang menjurus ke arah bentuk-bentuk pemaksaan atau menakut-nukuti
bagaimanapun halusnya tindakan itu dilakukan, akan mengurangi kadar efektivitas
pendidikan politiknya atau bahkan bisa mendatangkan kesan negatif yang tidak
diharapkan.
Ketiga, konflik iisik yang dimungkinkan terjadi akibat dari persaingan
antar organisasi peserta pemilu sedapat mungkin harus dihindri. Konflik-konflik
yang seperti ini akan inenimbulkan kesan negatif tentang politik sehingga
dikhawatirkan bisa melahirkan kesan bahwa politik itu kotor. Perbedaan pendapat
atau konsep memang boleh bahkan perlu dalam suatu negara demokratis, tetapi
perbedaan pendapat tersebut harus dijaga agar tidak menjurus kepada konflik
fisik yang dapat menimbulkan korban.
Keempat, pemilu yang baik bagi upaya pendidikan politik adalah pemilu
yang menghasilkan lembaga politik yang benar-benar mencerminkan kedaulatan
rakyat. Rakyat yang melakukan pemilihan akan merasa bahwa hak pilih yang
dimilikinya itu mempunyai arti besar. Keyakinan yang seperti ini akan sangat
positif dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebaliknya apabila menurut penilaian mereka lembaga
politik yang dihasilkan oleh pemilu itu tidak menecmainkan kedaulatan rakyat
maka para pemilih akan merasa sia-sia menggunakan hak pilihnya sehingga mereka
lebih suka tidak ikut ambil bagian dalam pemilu.
Kelima, pemilu yang menunjang upaya pendidikan politik adalah pemilu
yang dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kompeten. Karena itu nampaknya
perlu terus-menerus diupayakan suatu sistem pemilu yang mampu mewujudkan hal
tersebut. Para anggota legislatif hsndaknya terpilih karena kemampuannya dan
kepereayaan yang diberikan rakyat bukan hanya karena dekat (atau masih famili)
dengan pimpinan panai. Ini sangat penting untuk menumbuhkan kepereayaan rakyat
terhadap pemilu itu sendiri dan terhadap pemerintah pada umumnya.
BAB
III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pendidikan politik
sangat penting untuk di sampaikan dan diketahui serta dipahami oleh seluruh
rakyat Indonesia agar rakyat tak hanya menjadi objek politik, tetapi juga dapat
berperan sebagai subjek politik. Akan tetapi pendidikan politik yang diberikan
haruslah pendidikan politik yang baik dan berdampak positif serta tidak
cenderung menyesatkan. Sehingga rakyat tidak lagi menjadi rakyat yang “bodoh
secara politik” akan tetapi pemerintah haruslah menjadikan rakyatnya “melek
politik”, agar menjadi sekutu yang partisipatif dalam usaha pembangunan, karena
rakyat akan sadar akan hak dan kewajibannya, sadar hukum, kritis, aktif dan
kreatif serta konstruktif.
Ketika pendidikan
politik sudah berjalan dan dapat dipahami, maka setiap warganegara Indonesia
akan turut membangun masyarakat dan negaranya, yang dilakukan bersama-sama
dengan pemerintah. Selain itu, mereka akan aktif dalam usaha mendinamisir dan
merenovasi lembaga masyarakat beserta system politiknya.
3.2 Saran
Setiap sarana
pendidikan politik yang ada, haruslah melaksanakan tuganya dengan baik yaitu
mencerdaskan dan “memelekkan” rakyat secara politis, bukan malah “menyesatkan
atau membodohi” rakyat. Selain itu di dalam pelaksanaan pendidikan politik
sebaiknya tidak dilakukan secara indoktrinatif . Sebab, dengan sosialisasi
secara indoktrinatif akan menghasilkan pribadi yang kaku, fanatik, pandangannya
sempit, mentalnya “dungu dan kacau”, sehingga kedepannya nanti perilakunya akan
cenderung menentang hati nuraninya sendiri dan realita yang dihadapi, serta
akan menentang kehendak dan aspirasi umum.
Selain itu, generasi
muda khususnya mahasiswa selaku agent of change, harusnya dapat menjadi leader
di dalam upaya mencerdaskan dan “memelekkan” rakyat secara politis, mengingat
saat ini hanya mahasiswalah yang paling dapat diharapkan ketika pemerintah
sudah tak lagi mampu menjadi sandaran, panutan serta harapan yang layak bagi
rakyatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian. 1986. Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka Utama
Berdikarionline,
2011. Pentingnya Pendidikan Politik Untuk
Rakyat. [online]. http://berdikarionline.com/editorial/20110407/pentingnya- pendidikan-politik-untuk-rakyat.html.
(Diakses pada, 5 Desember 2011)
Buchori, Muchtar.2001. Pendidikan Antisipatoris.
Yogyakarta: Kanisius.
Budiardjo, Miriam,
1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hasbullah, 2006. Dasar-dasar ilmu pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Kartaprawira, Rusadi.
(2004). Sistem Politik Indonesia Suatu
Model Pengantar. Bandung: Sinar
Algensindo.
Kartono, Kartini,
1989. Pendidikan politik sebagai bagian
dari pendidikan orang dewasa. Bandung:
Mandar Maju
Naning, Ramdlon,
1982. Pendidikan politik dan regenerasi. Yogyakarta:
Liberty
Rai, Anak Agung Gede.
2006. Pemilu Sebagai Sarana Pendidikan
Politik. Sarathi,Vol. 13 No. 2,
84-88.
Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz. 2000. Tarbiyah Siyasiyah: Pendidikan
Politik Ikhwanul
Muslimin.
Surbakti,
Ramlan. 1999.
Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar