Rabu, 18 April 2012

Agribisnis Padi di Thailand yang Telah Terpadu



DI sebuah rumah di dalam sebuah kompleks perumahan di bilangan Serpong, Kota Tangerang, terdapat papan yang bertuliskan "Di Sini Dijual Beras Thailand". Tumpukan karung beras memenuhi ruang tamu rumah itu. Mereka yang mau membeli bisa langsung melihat jenis beras di dalam karung itu. Tidak hanya di Serpong. Lihat saja di berbagai kompleks perumahan, mudah sekali didapat rumah yang dijadikan tempat berjualan beras asal Thailand. Beras impor tidak lagi hanya dijual di pasar, tetapi sudah dijual langsung di permukiman-permukiman.
SEBETULNYA tidak hanya belakangan ini beras Thailand dikenal oleh ibu-ibu rumah tangga dan dijual di berbagai pasar di Indonesia. Dulu mereka mengenalnya dengan sebutan beras Siam, nama sebelum negara itu berganti menjadi Thailand. Sekarang beras Thailand makin dikenal luas. Jenisnya pun bervariasi.
"Jenis beras apa yang Anda cari? Di sini jenisnya banyak. Kalau Anda mengetahui kode sistem harmonisasinya, maka saya bisa dengan mudah mencarikan data beras itu," kata seorang staf Departemen Bea dan Cukai (BC) Thailand yang ditemui pekan lalu di Bangkok. Kontan saja Kompas kebingungan ketika petugas itu menanyakan kode sistem harmonisasi.
Ada berapa banyak jenis beras dari Thailand? Untuk mengetahui kode itu terpaksa Kompas harus mengontak seorang petugas BC Indonesia untuk menanyakan kode beras yang biasa diimpor oleh Indonesia. Setelah itu baru diketahui beras yang dimaksud. Maklum saja, masyarakat di Indonesia lebih mengenal sedikit jenis beras seperti beras putih, beras ketan, dan juga beras merah. Sementara, di Thailand dikenal berbagai jenis beras sehingga kalau menyebut beras harus lebih spesifik.
Gambaran secuil ini sebenarnya merupakan bagian kecil dari keseluruhan agribisnis padi di Thailand yang telah berkembang, bukan hanya dari kemampuan produksi hingga menjadi eksportir terbesar di dunia, tetapi juga kemampuan memproduksi beras dengan berbagai jenis itu.
Paling tidak di Thailand terdapat beberapa jenis beras. Secara umum dikenal beras aromatik atau jasmine rice yang juga biasa disebut fragrant rice. Beras ini dikenal di berbagai penjuru dunia sebagai beras khas Thailand. Beras ini memiliki permukaan halus seperti sutra dan berkilau. Bila dimasak akan menghasilkan aroma yang sedap.
Jenis beras lainnya adalah beras putih (white rice). Beras putih memiliki ukuran biji agak panjang. Jenis ini sama dengan beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Beras ini yang banyak ditanam di berbagai tempat di Thailand. Beras ini pula yang banyak diekspor ke berbagai negara. Bila dirinci lagi, maka untuk beras putih dikenal sekitar 10 kualitas.
Beras lainnya adalah parboiled rice, yaitu padi yang gabahnya harus dikukus dan dikeringkan lebih dulu sebelum digiling. Meski sudah mendapat perlakuan itu, kandungan gizi yang ada tetap melekat di dalam beras. Beras yang juga hampir mirip dengan yang ada di Indonesia adalah beras ketan (glutinous rice). Beras ini di pasar internasional juga disebut sticky rice atau sweet rice yang mengandung amilase dan juga amilopektin. Beras ini memiliki tekstur agak berkapur.
Sedangkan jenis lainnya adalah round grain rice atau yang sering disebut beras Jepang yang ditanam di Thailand. Beras ini memiliki kualitas tinggi. Beras ini biasa dijual dengan kantong berukuran satu hingga dua kilogram. "Kalau dirunut, lebih dari 60 tahun yang lalu kami sudah mengembangkan varietas-varietas padi tertentu," kata Manajer Thai Rice Exporter Association Manoo Tiem Yan di Bangkok ketika ditanya latar belakang kesuksesan negaranya dalam mengembangkan padi.
Setelah lama bekerja keras, mereka kini mulai menikmati hasil. Produksi padi dalam bentuk gabah saat ini sekitar 26 juta hingga 27 juta ton. Sepuluh tahun yang lalu produksi gabah hanya sekitar 21 juta ton. Beras Thailand diekspor ke berbagai negara. Beras Thailand dikenal dengan mutu yang bagus. Produksi pun meningkat hingga tahun ini mereka akan mengekspor beras sebanyak 8,5 juta ton atau naik 1,5 juta ton dibanding dengan tahun lalu.
MENGAPA mereka sukses? Padahal, secara umum sebenarnya petani Thailand tidak berbeda jauh dengan petani Indonesia. Para petani Thailand juga menghadapi perubahan musim sehingga kadang gagal panen. Mereka juga terpaksa membutuhkan pompa untuk mendapatkan air. Mereka juga terkena banjir ketika terjadi hujan yang lebat.
Bahkan, di daerah Pathumtani, di wilayah utara Thailand, petani setempat tidak membuat lajur-lajur seperti sawah di Indonesia. Mereka membiarkan begitu saja rumput tumbuh di lajur-lajur sawah, berbeda dengan sawah di Indonesia yang bersih dari gulma dan terlihat lebih rapi.
Pertanian di Thailand juga tengah menghadapi sejumlah masalah, seperti lahan-lahan pertanian di wilayah pinggiran yang mulai berubah. Banyak lokasi perumahan dan gedung-gedung yang menempati lahan yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan pertanian seperti di daerah Nonthaburi, pinggiran Bangkok.
Perbedaannya dengan petani Indonesia adalah para petani di Thailand menikmati lebih banyak insentif dari pemerintah. Paling tidak perhatian negara sangat besar terhadap sektor pertanian. Thong, salah satu petani di daerah Pathumtani yang ditemui pekan lalu, merasakan hal itu. Persoalan pupuk dan benih tidak muncul. Ia bisa memilih benih dan pupuk tanpa ada masalah. Di sisi lain, soal harga yang terbantu dengan adanya pembelian dari pemerintah. Thong memiliki lahan sekitar 37 rai. Rai adalah ukuran tradisional setempat. Satu rai sekitar 0,16 hektar, jadi Thong memiliki lahan sekitar lima hektar. Lahan itu miliknya sendiri. Ia bukan buruh tani.
Bersama sekitar empat orang penduduk setempat, ia terlihat masih memupuk sawah yang sudah dua minggu ditanami. Setiap kali musim panen, sawah tersebut menghasilkan 15 ton gabah. Satu hektar lahan memiliki produktivitas sekitar 2,5 ton. Satu ton gabah dihargai sekitar 3.000 hingga 4.000 baht atau sekitar Rp 1.300 per kilogram. Dalam setiap kali musim panen, dia bisa mendapat hingga 45.000 baht atau sekitar Rp 10 juta.
Thong bisa menghidupi keluarganya. Dua orang anaknya memilih bekerja sebagai petani, sedangkan dua lainnya masih sekolah. Dengan penghasilan itu, Thong bisa membeli berbagai keperluan untuk pertanaman seperti pupuk, pompa, dan juga benih. Ia sendiri sampai sekarang masih berminat menanam padi di lahannya.
Dalam setahun mereka melakukan dua kali penanaman. Penanaman pertama bisa dipanen sekitar April, sedangkan penanaman kedua sekitar Juli. Pada akhir tahun petani di Pathumtani yang terletak di pinggir Sungai Chao Phraya sering kebanjiran. Biasanya mereka memilih dua varietas padi yang umurnya 95 hari dan 120 hari.
DARI pengamatan, ada beberapa hal yang membuat beras Thailand kompetitif. Pertama, Pemerintah Thailand melakukan pembelian beras petani dengan jumlah besar. Dari sekitar 26 juta ton gabah, paling tidak 10 juta ton dibeli oleh pemerintah.
Pemerintah Thailand kemudian menyimpannya sebagai cadangan pangan negara itu di dalam gudang-gudang milik pemerintah. Bila cadangan mereka sudah penuh dan panen musim yang akan datang diperkirakan bagus, maka mereka melepas stok itu.
Sekali melepas cadangan, Pemerintah Thailand bisa mengeluarkan hingga 1,7 juta ton. Pelepasan cadangan ini berasal dari pembelian padi yang berasal dari panen tiga tahun lalu. Dengan demikian, fasilitas penyimpanan yang ada diperkirakan memadai untuk penyimpanan hingga tiga tahun.
Pembelian padi oleh pemerintah ini sangat membantu petani. Tidak berbeda dengan Indonesia, pedagang kadang menekan petani ketika hendak membeli beras mereka. Pedagang selalu mengatakan, gabah kurang kering dan sejumlah alasan lain agar harga bisa ditekan. Dengan pembelian oleh pemerintah, harga di tingkat petani bisa dikatrol signifikan.
Pasokan kebutuhan petani seperti pupuk, benih, dan pestisida juga lebih terjamin. Thong dengan mudah mendapatkan pupuk di sejumlah kios. Infrastruktur jalan yang ada sangat memadai untuk distribusi kebutuhan petani itu. Infrastruktur ini juga sangat membantu sarana angkutan gabah ketika panen. Jalan-jalan besar yang beraspal halus terdapat di berbagai tempat sehingga bisa menurunkan biaya pengangkutan saat panen.
Angkutan lain yang lebih murah dibandingkan dengan angkutan darat adalah angkutan sungai. Angkutan ini lebih banyak digunakan untuk mengirim beras daripada angkutan darat yang menggunakan truk. Padi yang telah digiling kemudian ditampung di gudang-gudang kecil di tepi sungai. Bila akan dijual ke kota, padi diangkut dengan tongkang berbagai ukuran, dari yang panjangnya 30 meter hingga sekitar 40 meter. Tongkang diparkir di tepi sungai, kemudian beras dinaikkan. Tongkang-tongkang ini menuju ke Pelabuhan Bangkok.
Bila untuk konsumsi dalam negeri, tongkang ini akan membongkar muatan di gudang-gudang milik pedagang besar yang terletak di pinggir sungai. Sedangkan bila beras diekspor, tongkang-tongkang itu akan mendekati kapal-kapal ekspor yang sudah berada di pelabuhan yang merupakan hilir Sungai Chao Phraya. Beras dinaikkan ke kapal dengan menggunakan derek yang terdapat di kapal.
Peranan lembaga penelitian juga sangat besar. Lembaga penelitian bersentuhan langsung dengan kebutuhan petani. Mereka menghasilkan benih-benih baru yang bermutu tinggi, termasuk beras aromatik.
Tidak kalah menariknya adalah organisasi yang cukup kuat dalam agrobisnis padi di negara itu. Para petani tergabung dalam Asosiasi Petani Thailand (Thai Farmers Association), para pemilik penggilingan tergabung dalam Asosiasi Pemilik Penggilingan Padi Thailand (Thai Rice Millers Association), dan para pengekspor beras tergabung dalam Asosiasi Eksportir Beras Thailand (Thai Rice Exporter Association).
Keberadaan organisasi ini sangat membantu mereka memperjuangkan hak-haknya, termasuk ketika berunding dengan pemerintah atau dengan pihak lain. Agribisnis padi di Thailand sudah sangat terpadu. (ANDREAS MARYOTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar