DI sebuah
rumah di dalam sebuah kompleks perumahan di bilangan Serpong, Kota Tangerang,
terdapat papan yang bertuliskan "Di Sini Dijual Beras Thailand ".
Tumpukan karung beras memenuhi ruang tamu rumah itu. Mereka yang mau membeli
bisa langsung melihat jenis beras di dalam karung itu. Tidak hanya di Serpong.
Lihat saja di berbagai kompleks perumahan, mudah sekali didapat rumah yang
dijadikan tempat berjualan beras asal Thailand . Beras impor tidak lagi
hanya dijual di pasar, tetapi sudah dijual langsung di permukiman-permukiman.
SEBETULNYA
tidak hanya belakangan ini beras Thailand
dikenal oleh ibu-ibu rumah tangga dan dijual di berbagai pasar di Indonesia . Dulu mereka mengenalnya dengan sebutan beras Siam, nama sebelum
negara itu berganti menjadi Thailand. Sekarang beras Thailand makin dikenal
luas. Jenisnya pun bervariasi.
"Jenis beras apa yang Anda cari? Di sini jenisnya
banyak. Kalau Anda mengetahui kode sistem harmonisasinya, maka saya bisa dengan
mudah mencarikan data beras itu," kata seorang staf Departemen Bea dan
Cukai (BC) Thailand yang ditemui pekan lalu di Bangkok. Kontan saja Kompas
kebingungan ketika petugas itu menanyakan kode sistem harmonisasi.
Ada berapa banyak jenis beras dari Thailand? Untuk mengetahui
kode itu terpaksa Kompas harus mengontak seorang petugas BC Indonesia untuk
menanyakan kode beras yang biasa diimpor oleh Indonesia. Setelah itu baru
diketahui beras yang dimaksud. Maklum saja, masyarakat di Indonesia lebih
mengenal sedikit jenis beras seperti beras putih, beras ketan, dan juga beras
merah. Sementara, di Thailand dikenal berbagai jenis beras sehingga kalau
menyebut beras harus lebih spesifik.
Gambaran secuil ini sebenarnya merupakan bagian kecil
dari keseluruhan agribisnis padi di Thailand yang telah berkembang, bukan hanya
dari kemampuan produksi hingga menjadi eksportir terbesar di dunia, tetapi juga
kemampuan memproduksi beras dengan berbagai jenis itu.
Paling tidak di Thailand terdapat beberapa jenis beras.
Secara umum dikenal beras aromatik atau jasmine rice yang juga biasa disebut
fragrant rice. Beras ini dikenal di berbagai penjuru dunia sebagai beras khas
Thailand. Beras ini memiliki permukaan halus seperti sutra dan berkilau. Bila
dimasak akan menghasilkan aroma yang sedap.
Jenis beras lainnya adalah beras putih (white rice).
Beras putih memiliki ukuran biji agak panjang. Jenis ini sama dengan beras yang
dikonsumsi masyarakat Indonesia. Beras ini yang banyak ditanam di berbagai
tempat di Thailand. Beras ini pula yang banyak diekspor ke berbagai negara.
Bila dirinci lagi, maka untuk beras putih dikenal sekitar 10 kualitas.
Beras lainnya adalah parboiled rice, yaitu padi yang
gabahnya harus dikukus dan dikeringkan lebih dulu sebelum digiling. Meski sudah
mendapat perlakuan itu, kandungan gizi yang ada tetap melekat di dalam beras.
Beras yang juga hampir mirip dengan yang ada di Indonesia adalah beras ketan
(glutinous rice). Beras ini di pasar internasional juga disebut sticky rice
atau sweet rice yang mengandung amilase dan juga amilopektin. Beras ini
memiliki tekstur agak berkapur.
Sedangkan jenis lainnya adalah round grain rice atau yang
sering disebut beras Jepang yang ditanam di Thailand. Beras ini memiliki
kualitas tinggi. Beras ini biasa dijual dengan kantong berukuran satu hingga
dua kilogram. "Kalau dirunut, lebih dari 60 tahun yang lalu kami sudah
mengembangkan varietas-varietas padi tertentu," kata Manajer Thai Rice
Exporter Association Manoo Tiem Yan di Bangkok ketika ditanya latar belakang
kesuksesan negaranya dalam mengembangkan padi.
Setelah lama bekerja keras, mereka kini mulai menikmati
hasil. Produksi padi dalam bentuk gabah saat ini sekitar 26 juta hingga 27 juta
ton. Sepuluh tahun yang lalu produksi gabah hanya sekitar 21 juta ton. Beras
Thailand diekspor ke berbagai negara. Beras Thailand dikenal dengan mutu yang
bagus. Produksi pun meningkat hingga tahun ini mereka akan mengekspor beras
sebanyak 8,5 juta ton atau naik 1,5 juta ton dibanding dengan tahun lalu.
MENGAPA mereka sukses? Padahal, secara umum sebenarnya petani
Thailand tidak berbeda jauh dengan petani Indonesia. Para petani Thailand juga
menghadapi perubahan musim sehingga kadang gagal panen. Mereka juga terpaksa
membutuhkan pompa untuk mendapatkan air. Mereka juga terkena banjir ketika
terjadi hujan yang lebat.
Bahkan, di daerah Pathumtani, di wilayah utara Thailand,
petani setempat tidak membuat lajur-lajur seperti sawah di Indonesia. Mereka
membiarkan begitu saja rumput tumbuh di lajur-lajur sawah, berbeda dengan sawah
di Indonesia yang bersih dari gulma dan terlihat lebih rapi.
Pertanian di Thailand juga tengah menghadapi sejumlah
masalah, seperti lahan-lahan pertanian di wilayah pinggiran yang mulai berubah.
Banyak lokasi perumahan dan gedung-gedung yang menempati lahan yang sebelumnya
digunakan untuk kepentingan pertanian seperti di daerah Nonthaburi, pinggiran
Bangkok.
Perbedaannya dengan petani Indonesia adalah para petani
di Thailand menikmati lebih banyak insentif dari pemerintah. Paling tidak
perhatian negara sangat besar terhadap sektor pertanian. Thong, salah satu
petani di daerah Pathumtani yang ditemui pekan lalu, merasakan hal itu.
Persoalan pupuk dan benih tidak muncul. Ia bisa memilih benih dan pupuk tanpa
ada masalah. Di sisi lain, soal harga yang terbantu dengan adanya pembelian
dari pemerintah. Thong memiliki lahan sekitar 37 rai. Rai adalah ukuran
tradisional setempat. Satu rai sekitar 0,16 hektar, jadi Thong memiliki lahan
sekitar lima hektar. Lahan itu miliknya sendiri. Ia bukan buruh tani.
Bersama sekitar empat orang penduduk setempat, ia
terlihat masih memupuk sawah yang sudah dua minggu ditanami. Setiap kali musim
panen, sawah tersebut menghasilkan 15 ton gabah. Satu hektar lahan memiliki
produktivitas sekitar 2,5 ton. Satu ton gabah dihargai sekitar 3.000 hingga
4.000 baht atau sekitar Rp 1.300 per kilogram. Dalam setiap kali musim panen,
dia bisa mendapat hingga 45.000 baht atau sekitar Rp 10 juta.
Thong bisa menghidupi keluarganya. Dua orang anaknya
memilih bekerja sebagai petani, sedangkan dua lainnya masih sekolah. Dengan
penghasilan itu, Thong bisa membeli berbagai keperluan untuk pertanaman seperti
pupuk, pompa, dan juga benih. Ia sendiri sampai sekarang masih berminat menanam
padi di lahannya.
Dalam setahun mereka melakukan dua kali penanaman.
Penanaman pertama bisa dipanen sekitar April, sedangkan penanaman kedua sekitar
Juli. Pada akhir tahun petani di Pathumtani yang terletak di pinggir Sungai
Chao Phraya sering kebanjiran. Biasanya mereka memilih dua varietas padi yang
umurnya 95 hari dan 120 hari.
DARI pengamatan, ada beberapa hal yang membuat beras
Thailand kompetitif. Pertama, Pemerintah Thailand melakukan pembelian beras
petani dengan jumlah besar. Dari sekitar 26 juta ton gabah, paling tidak 10
juta ton dibeli oleh pemerintah.
Pemerintah Thailand kemudian menyimpannya sebagai
cadangan pangan negara itu di dalam gudang-gudang milik pemerintah. Bila
cadangan mereka sudah penuh dan panen musim yang akan datang diperkirakan
bagus, maka mereka melepas stok itu.
Sekali melepas cadangan, Pemerintah Thailand bisa
mengeluarkan hingga 1,7 juta ton. Pelepasan cadangan ini berasal dari pembelian
padi yang berasal dari panen tiga tahun lalu. Dengan demikian, fasilitas
penyimpanan yang ada diperkirakan memadai untuk penyimpanan hingga tiga tahun.
Pembelian padi oleh pemerintah ini sangat membantu
petani. Tidak berbeda dengan Indonesia, pedagang kadang menekan petani ketika
hendak membeli beras mereka. Pedagang selalu mengatakan, gabah kurang kering
dan sejumlah alasan lain agar harga bisa ditekan. Dengan pembelian oleh
pemerintah, harga di tingkat petani bisa dikatrol signifikan.
Pasokan
kebutuhan petani seperti pupuk, benih, dan pestisida juga lebih terjamin. Thong
dengan mudah mendapatkan pupuk di sejumlah kios. Infrastruktur jalan yang ada
sangat memadai untuk distribusi kebutuhan petani itu. Infrastruktur ini juga sangat membantu sarana angkutan gabah ketika panen.
Jalan-jalan besar yang beraspal halus terdapat di berbagai tempat sehingga bisa
menurunkan biaya pengangkutan saat panen.
Angkutan lain yang lebih murah dibandingkan dengan angkutan
darat adalah angkutan sungai. Angkutan ini lebih banyak digunakan untuk
mengirim beras daripada angkutan darat yang menggunakan truk. Padi yang telah
digiling kemudian ditampung di gudang-gudang kecil di tepi sungai. Bila akan
dijual ke kota, padi diangkut dengan tongkang berbagai ukuran, dari yang
panjangnya 30 meter hingga sekitar 40 meter. Tongkang diparkir di tepi sungai,
kemudian beras dinaikkan. Tongkang-tongkang ini menuju ke Pelabuhan Bangkok.
Bila untuk konsumsi dalam negeri, tongkang ini akan
membongkar muatan di gudang-gudang milik pedagang besar yang terletak di
pinggir sungai. Sedangkan bila beras diekspor, tongkang-tongkang itu akan
mendekati kapal-kapal ekspor yang sudah berada di pelabuhan yang merupakan
hilir Sungai Chao Phraya. Beras dinaikkan ke kapal dengan menggunakan derek
yang terdapat di kapal.
Peranan lembaga penelitian juga sangat besar. Lembaga
penelitian bersentuhan langsung dengan kebutuhan petani. Mereka menghasilkan
benih-benih baru yang bermutu tinggi, termasuk beras aromatik.
Tidak kalah menariknya adalah organisasi yang cukup kuat
dalam agrobisnis padi di negara itu. Para petani tergabung dalam Asosiasi
Petani Thailand (Thai Farmers Association), para pemilik penggilingan tergabung
dalam Asosiasi Pemilik Penggilingan Padi Thailand (Thai Rice Millers
Association), dan para pengekspor beras tergabung dalam Asosiasi Eksportir
Beras Thailand (Thai Rice Exporter Association).
Keberadaan organisasi ini sangat membantu mereka
memperjuangkan hak-haknya, termasuk ketika berunding dengan pemerintah atau
dengan pihak lain. Agribisnis padi di Thailand sudah sangat terpadu.
(ANDREAS MARYOTO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar