BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan hewani sangat dibutuhkan
manusia sebagai sumber protein yang
sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam
amino yang dibutuhkan manusia sehingga lebih mudah dicerna dan lebih efisien
pemanfaatannya. Namun demikian, pangan
hewani yang tidak aman (tercemar oleh mikroba maupun bahan kimia) akan menjadi tidak berguna dan membahayakan
kesehatan manusia (Bahri, dkk., 2005).
Antibiotika seperti tetrasiklin secara luas digunakan dalam dunia
peternakan baik untuk pengobatan,
pencegahan penyakit maupun
sebagai tambahan dalam pakan yang mendorong pertumbuhan pada ternak
(Botsoglou dan Fletouris, 2001). Hampir semua pabrik pakan
menambahkan senyawa obat berupa antibiotik ke dalam ransum jadi (Bahri,
2008). Pengaruh pemberian
antibiotik yang menguntungkan disebabkan
oleh adanya faktor pengendali infeksi subklinis.
Antibiotik juga mampu meningkatkan digesti
pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab terhadap
produksi gas di lambung (Soeparno, 1998).
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
yang menyatakan bahwa sebagian besar sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi,
Bogor, Tangerang dan Bekasi positif mengandung antibiotik golongan tetrasiklin
dan obat golongan sulfonamida (Bahri, 2008).
Pemakaian
obat-obatan yang tidak sesuai dengan
petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang
hewan akan dipotong, tentu akan menyebabkan obat tertinggal di dalam
jaringan/organ tubuh yang selanjutnya disebut sebagai residu yang kemudian
terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi.
Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan
dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau
gangguan fisiologis pada manusia. Adapun
waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari
menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987). Menurut SNI 01-6366-2000, BMR
antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging dan susu tidak boleh melebihi 100
ppb. Hasil penelitian pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa
menunjukkan bahwa pada daging, telur, dan susu ditemukan residu antibiotik
golongan tetrasiklin dan sulfonamida (Bahri, 2008).
Oleh karena itu, penyusun ingin
menyampaikan mengenai berbagai macam informasi mengenai antibiotik dan sederet
dampak buruknya apabila mengkontaminasi bahan makanan dalam bentuk residu.
1.2
Tujuan
a. Mengetahui
definisi dari antibiotik
b. Mengetahui
fungsi dari antibiotik
c. Mengetahui pengaruh antibiotik di dalam bahan makanan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Antibiotik
Antibiotik (antibiotika) adalah zat
yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat pertumbuhan
ataupun membunuh mikroba lain. Antibiotik ini ternyata berasal dari bakteri
yang dilemahkan. Penisilin menjadi antibiotika pertama yang ditemukan di
kawasan Britania raya (Inggris) oleh seorang dokter bernama Sir Alexander
Fleming (1881-1955), lahir di Lochfield, Skotlandia, 6 Agustus 1881. Beliau
menemukan Penisilin, sejenis bakteri yang berfungsi melawan bakteri berbahaya
yang terdapat di dalam tubuh manusia. Pasien pertama yang pernah merasakan
khasiat temuan Fleming adalah mantan perdana menteri Inggris, Winston
Churchill.
Fleming menyelesaikan sekolahnya di
Louden Moor School, Darvel School, dan Akademi Kilmarnock dan akhirnya
meneruskan kuliahnya di Politeknik. Dia sempat bekerja di kantor pelayaran
sebelum masuk ke Fakultas Kedokteran St. Mary’s, Universitas London. Bersama
pembimbingnya di St. Mary’s, Sir Almroth Wright, Fleming mulai melakukan
penelitian di tahun 1906. Pada tahun 1914 Fleming berhasil menamatkan gelar
sarjananya di kampus St. Mary’s.
Di tahun 1928, Fleming melakukan
penelitian pada gerakan alami bakteri dalam darah dan antiseptik. Hingga suatu
hari ia menemukan substansi bakteri yang ia teliti ternyata tidak dapat
meracuni jaringan hewan.
Sebutan “penisilin” juga dapat digunakan untuk menyebut anggota spesifik dari kelompok penisilin.
Sebutan “penisilin” juga dapat digunakan untuk menyebut anggota spesifik dari kelompok penisilin.
Fleming yang sudah bergelar sarjana
menemukan jaringan dan sekresi pada tahun itu. Ia menyebutnya lyzozyme –
subtansi penting dalam bakteri. Secara tidak sengaja saat meneliti virus flu,
dia menemukan bercak pada lempengan Staphylococcus membentuk lingkaran “anti
bakteri” di sekeliling virus itu. Hal itulah yang mengilhami Fleming untuk
meneliti lebih lanjut bahwa substansi itu mencegah pertumbuhan Staphylococci,
walaupun diencerkan 800 kali. Akhirnya Fleming menyebut substansi aktif itu
sebagai penisilin. Saking efektifnya, penisilin terus dikembangkan hingga
menghasilkan terobosan baru dengan hadirnya produk antibiotik yang menyeimbangi
penisilin. Hasil penemuannya semakin berguna saat perang dunia I berlangsung.
Tentara yang terlibat perang terluka karena terjangkit bakteri yang kemudian
diberikan antibiotik.
2.2 Definisi Antibiotika
Antibiotika dikenal sebagai agen
antimikroba, adalah obat
yang melawan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Pada tahun l927, Alexander Fleming menemukan antibiotika penama yaitu
penisilin. Setelah penggunaan antibiotika pextama di tahun 1940-an, mereka mengubah
perawatan medis dan secara dramatis mengurangi penyakit dan kematian dari
penyakit menular. Istilah "antibiotik"
awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau
mikreorganisme lain yang membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau
hewan. Beberapa antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan oleh
mikroorganisme) yang juga dapat membunuh atau menghambat pextumbuhan bakteri.
Secara teknis, istilah "agen
antibakteri" mengacu pada kedua senyawa alami dan sintetis, akan
tetapi banyak orang
menggunakan kata "antibiotika"
untuk merujuk kepada keduanya. Meskipun antibiotika memiliki banyak manfaat,
tetapi penggunaannya telah berkontribusi tehadap terjadinya resistensi.
(Katzung, 2007).
Orang yang
pertama kali mempelajari antibiotika secara sistematis adalah Gratia dan Dath
(1924) dengan ditemukannya actinumycezin
yang berasal dari Actinvmycetes. Sampai sekarang sudah banyak ditemukan beribu-ribu
antibiotik, tetapi tidak semua dapat digunakan dalam pengobatan. Hal ini
terjadi karena bakteri mengalami mutasi yang terjadi karena pengobatan yang
dilakukan tidak dengan semestinya (Indan, E., 2003)
Satu jenis
antibiotik biasanya hanya ampuh untuk satu kelompok kuman tertentu, tetapi tidak
untuk kuman yang lain. Tetapi ada pula antibiotik yang dapat niembunuh berbagai
kelompok kuman. Penggunaan antibiotik sembarang dapat menimbulkan terjadinya resistensi
pada kuman, artinya antibiotik yang dipakai menjadi tidak ampuh lagi dan kuman menjadi
kebal terhadap antibiotik tersebut (Anoninm, 2003) .
Antibiotik
ada yang mempunyai spectrum luas, artinya antibiotika yang efektif digunakan
bagi banyak spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiral. Ada juga antibiotika
berspektrum sempit, artinya hanya efektif digunakan untuk spesies tertentu. Sebelum
antibiotika digunakan untuk keperluan pengobatan penyakit-penyakit infeksi, maka
terlebih dahulu diuji efeknya terhadap spesies bakteri tertentu. (lndan, E.,
2003)
Antibiotik
mempunyai ciri-ciri: Menghambat atau membunuh pathogen tanpa merusak inang
(host), bersifat bakterisida dan bukan bakteriostatik, tidak menyebabkan resistensi
pada kuman pathogen, berspektrum luas, tidak bersifat alergenik, tetap aktif dalam
plasma, cairan badan, atau eksudat, larut di dalam air sena stabil, tidak mengganggu
keseimbangan flora normal dari inang sampai flora usus atau flora kulit. (Lud,
W., 2005) ldealnya zat-zat antibiotik harus mempunyai sifat- sifat sebagai
berikut : harus mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikrobia
pathogen spesifik, tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk resisten parasit,
tidak menimbulkan efek samping, seperti alergi, kerusakan syarai iritasi pada
ginjal dan saluran gastrointestinalis, tidak melenyapkan flora normal pada
hospesnya, harus dapat diberikan secara oral atau suntikan, mempunyai taraf
kelarutan yang tinggi dalam zat alir tubuh, konsentrasi antibiotik di dalam
jaringan atau darah harus dalam jumlah yang cukup tinggi. (PR Murray., 1995)
Pemilih terapi antibiotika yang
rasional harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain faktor pasien, bakteri dan
antibiotika. Terapi empiris diarahkan pada bakteri yang dikenal menyebabkan
infeksi yang bersangkutan. (Dipiro et al., 2005).
2.3 Residu Antibiotik
Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau
metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu
hasil uraian lainnya dari antibiotik tersebut,
sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak untuk
konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered parent drug),
metabolit dan/atau konjugat lainnya.
Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang/tidak toksik
dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik
(Haagsma 1988). Sesuai dengan petunjuk
teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal
Hewan, residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan
atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau
bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan pakan
untuk pemacu pertumbuhan.
Antibiotik yang diberikan pada hewan
ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan reseptor di
dalam tubuh. Interaksi tersebut dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh yang
diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau
cara tubuh menangani senyawa eksogen.
Secara simultan antibiotik didistribusikan ke dalam tubuh setelah
diabsorbsi. Umumnya antibiotik bersifat
mudah larut dalam lemak dan dapat dengan mudah melewati membran-membran sel
atau jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh,
termasuk ke hati dan ginjal (Murtidjo 2007).
Pengeluaran antibiotik terjadi melalui proses biotransformasi dan
eliminasi yang berlangsung lama sehingga pada waktu pemotongan jika antibiotik
yang telah diberikan masih tersisa dalam bentuk metabolit atau bahan aktifnya
terdapat di dalam produk hewan ternak
yaitu daging, hati, ginjal, dan paru-paru.
Timbunan dari senyawa atau metabolit dari antibiotik dalam tubuh dapat
menyebabkan residu (Siregar 1990).
Keberadaan residu antibiotik
dalam produk hewani diakibatkan oleh
beberapa faktor (1) tidak diperhatikannya waktu henti obat, (2) penggunaan
antibiotik melebihi dosis yang dianjurkan dan tidak di bawah pengawasan dokter
hewan, (3) pengetahuan yang kurang akan
dampak pada kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik,
(4) tidak ada penyuluhan dalam penggunaan antibiotik yang baik dan benar di
peternakan, dan (5) tipe dari peternakan ada yang intensif atau ekstensif
(Lukman 1994; Donkor et al. 2011).
2.4 Jenis
Antibiotik yang Digunakan
Menurut
Ganiswarna et al. (1995) dan
Kennedy et al. (1998), antibiotik adalah
zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi baik secara alami maupun
buatan (sintetik) yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Berdasarkan sifat toksisitas selektif ada
antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal sebagai
aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba yang dikenal
sebagai aktivitas bakterisidal (Ganiswara
et al. 1995). Menurut Reig dan
Toldra (2009), antibiotik dibagi menjadi sembilan golongan tetapi yang sering
digunakan dalam bidang peternakan ada lima golongan yaitu:
1. Sulfonamida
Antibiotik ini merupakan turunan dari sulfanilamid. Sulfonamida merupakan antibiotik yang
berspektrum luas dan aktif dalam melawan bakteri Gram positif dan negatif. Mekanisme kerja dari antibiotik ini adalah
menghambat sintesis DNA bakteri.
Antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit sistemik yang
disebabkan oleh bakteri. Jenis
antibiotik yang banyak digunakan dari golongan sulfonamida adalah sulfametazin.
Menurut Dixon (2001) yang diacu dalam Reig dan Toldra (2009), sulfametazin
digunakan untuk hewan karena harganya
murah, cara memperolehnya mudah, dan tingkat efisiensi tinggi.Golongan
sulfonamida yang terdiri dari sulfametazin, aquinoksalin, dan sulfamethoksazol
memiliki peranan penting di bidang
kedokteran hewan yaitu dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
dan protozoa (Mamani et al. 2009).
2. β-Laktam
Antibiotik ini mempunyai struktur β-laktam melingkar, yang termasuk golongan
ini adalah penisilin, β-laktamase
inhibitor, sephalosporin, ampisilin, dan amoksilin. Antibiotik ini digunakan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dengan cara merusak dinding sel bakteri. Golongan
β-laktam terutama penisilin merupakan antibiotik yang bersifat
non-toksik. Antibiotik tersebut dapat
digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan pada hewan ternak
(Verdon et al. 2000).
3. Tetrasiklin
Derivat antibiotik ini berasal dari
Streptomyces sp. Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum
luas dengan aktivitas yang tinggi dalam
melawan bakteri Gram positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis
protein pada bakteri. Dalam bidang
peternakan antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan
dan jika dosisnya rendah dapat digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan. Golongan
tetrasiklin yang banyak digunakan di bidang kedokteran hewan adalah
oksitetrasiklin dan klortetrasiklin.
4. Aminoglikosida
Antibiotik ini mempunyai struktur gugus gula
amino yang berikatan dengan glikosida yang termasuk golongan ini adalah
gentamisin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan spektomisin. Aminoglikosida merupakan antibiotik yang
berspektrum luas dan aktif dalam melawan
bakteri Gram negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Neomisin merupakan golongan
aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan
infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang
diaplikasikan secara per oral.
Antibiotik ini dapat digunakan untuk pengobatan mastitis yang
diaplikasikan secara intramamari(Wang et al. 2009).
5. Makrolida
Antibiotik ini mempunyai gugus makrosiklik
lakton yang mengikat gugus gula.
Golongan makrolida adalah eritromisin, tilosin, spiramisin, dan
linkomisin. Makrolida dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit saluran respirasi khususnya eritromisin dapat melawan
bakteri Gram positif. Tilosin,
spiramisin, dan linkomisin dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.
2.5 Tujuan
Penggunaan Antibiotik
Penggunaan
obat-obatan terutama antibiotik, belakangan ini tidak dapat dihindari lagi
karena usaha peternakan telah
dioperasikan secara intensif dan dalam skala industri (Lukman 1994). Pemakaian obat-obatan tersebut memiliki
alasan atau tujuan yang berbeda-beda yaitu (1) mencegah dan mengobati penyakit
pada hewan ternak dan manusia, (2) menyelamatkan ternak dari kematian, (3)
meningkatkan efisiensi pakan, memacu pertumbuhan, dan mengurangi penderitaan
hewan (misalnya obat-obat sedasi), (4) menghambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen, (5) pengawet makanan, (6) mengembalikan kondisi ternak untuk
berproduksi penuh kembali dalam waktu yang relatif singkat, (7) mengurangi atau
menghilangkan penderitaan ternak dan mencegah penyebaran mikroorganisme patogen
ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan ternak dan manusia (Haagsma
1988; Wiryosoehanto 1990; Lukman 1994;
Drosinos et al. 2009; Mamani et al. 2009; Pikkemaat et al. 2009; Pericas et al. 2010).
Antibiotik
yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) biasanya diberikan
sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang bermanfaat untuk meningkatkan
produksi (terutama unggas dan babi) dan mengurangi biaya pakan (Wiryosoehanto
1990; Martinez 2009). Manfaat penggunaan
antibiotik dalam pakan adalah sebagai berikut (1) antibiotik secara tidak
langsung mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat dalam pakan
dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino, (2) antibiotik
dapat membunuh atau menghambat mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan,
(3) meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor, dan magnesium dari pakan ternak
yang dikonsumsi, (4) mengurangi kebutuhan
zat-zat gizi seperti vitamin B12, mineral, dan asam amino (Siregar
1990).
2.6 Keamanan
Pangan
Keamanan
pangan didefinisikan dalam Undang-Undang Pangan RI Nomor 7 tahun 1996 sebagai
suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia (Anonim 1997).
Menurut Codex Alimentarius Commission (1997),
keamanan pangan adalah semua kondisi dan ukuran kebutuhan untuk menjamin
keamanan dan kesesuaian pangan dalam semua tingkat rantai pangan. Keamanan pangan pada dasarnya merupakan
proses yang komplek, yang berkaitan erat dengan aspek kebijakan, toksisitas,
kimiawi, status gizi, kesehatan, dan
ketentraman batin (Indraningsih
2006). Masalah keamanan pangan perlu
pengawasan yang komprehensif di sepanjang rantai pangan dari sejak pangan
diproduksi sampai dikonsumsi oleh masyarakat (from farm to table). Keamanan pangan menjadi perhatian dunia
karena dampak terhadap kesehatan
masyarakat sangat besar. Keamanan pangan
dan masalah gizi berpengaruh terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia
dalam jangka panjang (Gartini et al. 2009).
Kedudukan
masyarakat dalam keamanan pangan berperan sebagai konsumen dan penghubung
terakhir dalam rantai pangan setelah melewati proses produksi, pengolahan, dan
distribusi ke penjual pangan. Faktor yang
mempengaruhi keamanan pangan pada konsumen antara lain: umur, gaya hidup,
kesehatan, pengetahuan, kebudayaan, jenis kelamin, pandangan politik, kebutuhan
nutrisi, daya beli, status ekonomi, status keluarga, pekerjaan, dan pendidikan
(Seward 2003b). Terjaminnya keamanan
pangan di masyarakat perlu pengawasan yang ketat dan secara terpadu dari
pemerintah maupun departemen yang bergerak di bidang pangan. Pengawasan terhadap produk pangan bertujuan
untuk mencegah munculnya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne
disease) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
2.7 Bahaya
dalam Keamanan Pangan
Menurut National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Food (1997), yang diacu dalam Seward (2003a),
bahaya dalam keamanan pangan terdiri dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan
bahaya fisik. Bahaya biologis dapat
menyebabkan infeksi (pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan
penyakit) dan intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh toksin yang diproduksi
oleh mikroorganisme). Contoh dari agen
biologis pangan asal hewan yang ditransmisikan kepada manusia antara lain: Salmonella, Campylobacter, Escherichia coli,
Listeria monocytogenes, Toxoplasma, Leptospira, Coxiella burnetii (Q fever), Brucella, Mycobacterium, Yersinia
enterolitica, prion (bovine spongiform encephalopathy agent), dan parasit (Taenia
solium, Taenia saginata, dan Trichinella spiralis), agen tersebut dapat
menyebabkan foodborne disease (OIE 2006).
Bahaya
kimia berasal dari: (1) bahan pertanian seperti pestisida, antibiotik, dan
hormon pertumbuhan, (2) industri kimia seperti
cleaning agent, sanitizers, dan
peralatan industri yang berhubungan dengan minyak, bensin, dan pelumas. Bahaya kimia yang lainnya seperti toksikan
alami (mikotoksin) dan kontaminasi dari lingkungan antara lain: dioxins,
polychlorinated biphenyls (PCBs), polyaromatic hydrocarbons (PAHs),
logam berat (arsenik, merkuri, timbal, dan cadmium merupakan toksik logam
berat pada hewan domestik), dan isotop
radioaktif (Seward 2003a; OIE 2006; Andree
et al. 2010). Menurut Corleet
(1998) yang diacu dalam Seward (2003a), bahaya fisik terdiri dari gelas, kayu, plastik, batu, logam, dan
tulang. Bahaya fisik merupakan
kontaminasi yang tidak disengaja berasal dari penanaman, pemanenan, proses
industri, distribusi, dan penyimpanan.
2.8 Dampak
Residu Antibiotik bagi Kesehatan Masyarakat
Residu
antibiotik di dalam daging serta produk
hewan lainnya, dapat menimbulkan ancaman potensial terhadap kesehatan
masyarakat bila dikonsumsi dalam waktu yang lama (Lukman 1994), ancaman
tersebut dapat berupa (1) aspek toksikologis, yaitu residu antibiotik dapat
bersifat racun terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika, (2) aspek
mikrobiologis, yaitu residu antibiotik akan menggangu keseimbangan mikroflora
di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menggangu metabolisme tubuh, (3)
aspek imunopatologis, yaitu residu antibiotik dapat menjadi faktor pemicu
timbulnya reaksi alergi dari yang
bersifat ringan sampai berat dan bersifat fatal, (4) menimbulkan gangguan pada
sistem saraf dan kerusakan jaringan (Haagsma 1988; Donkor et al. 2011).
Haagsma
(1988) memandang masalah residu obat dalam bahan makanan dan penggunaan obat
dalam bidang veteriner berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, aspek
teknologi, dan aspek lingkungan.
Ditinjau dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotik dalam bahan
makanan dapat mengganggu atau menggagalkan proses fermentasi. Ditinjau dari aspek lingkungan, penggunaan
obat pada ternak akan mencemari lingkungan karena senyawa asal obat atau
metabolit akan diekskresikan melalui urin dan feses. Ekskreta obat atau metabolit tersebut akan
terlibat pada proses mikrobiologik dalam manur dan tanah, serta dapat
menimbulkan resistensi mikroorganisme, yaitu dapat mengakibatkan pertumbuhan
bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi
(Martaleni 2007). Kemungkinan ancaman
residu obat dalam bahan makanan terhadap kesehatan masyarakat adalah mutagenik,
karsinogenik, dan imunosupresif.
BAB III
KESIMPULAN
1.1
Kesimpulan
Secara umum antibiotik memang
memiliki fungsi yang penting di dalam kehidupan mahluk hidup, antara lain mencegah dan mengobati penyakit pada hewan
ternak dan manusia, menyelamatkan ternak dari kematian, meningkatkan efisiensi
pakan, memacu pertumbuhan, dan mengurangi penderitaan hewan (misalnya obat-obat
sedasi), menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan lain sebagainya. Akan tetapi
dalam penggunaannya perlu mendapat perhatian karena jika digunakan dengan dosis
yang tidak sesuai dapat memicu berbagai dampai negatif.
1.2
Saran
Berdasarkan
penelitian ini, disarankan beberapa hal terkait pencegahan dan pengendalian
residu antibiotik pada pangan asal
hewan, khususnya daging, sebagai berikut:
1.
Diharapkan pemerintah
daerah dapat meningkatkan pengawasan
terhadap mutu dan keamanan pangan asal hewan mulai dari peternakan hingga ke
konsumen.
2.
Penggunaan antibiotik
pada hewan ternak seharusnya di bawah pengawasan dokter hewan agar tidak
menimbulkan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan.
3.
Penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keamanan pangan asal
hewan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://149-santoz.blogspot.com/2012/06/makalah-kandungan-anti-biotik-dalam.html
Makasih Informasinya...mau buat HACCP plan nih...thenkyu banyak ya..
BalasHapus