Malang, 13 Desember 2014
Dalam hal ini
saya tidak akan membahas mengenai teknologi pengolahan pangan yang merupakan
background pendidikan saya, namun saya akan lebih mengajak anda dalam usaha
penyelamatan tempe dari aspek sosial. Hal ini saya lakukan karena keprihatinan
saya ketika mendengar tempe digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak
sesuai dengan karakteristik tempe itu sendiri, terlebih tempe adalah makanan
murah meriah sarat gizi yang senantiasa menemani kehidupan bangsa ini mulai
dari zaman nenek moyang saya dahulu hingga saat saya menulis artikel di kamar
kost ini.
Sering kali
kita menggunakan istilah mental tempe untuk menggambarkan kondisi seseorang
maupun kelompok orang yang penakut, mudah menyerah, tidak tahan banting dan
sifat-sifat lemah lainnya. Padahal dibalik kesederhanaan tempe terdapat nilai
gizi yang sangat baik untuk kita konsumsi. Bahkan dewasa ini tempe sudah mulai
diteleti dan dipatenkan oleh para ilmuan di luar negera ini, selain itu tempe
pun mulai dikembangkan, diproduksi dan dipasarkan sebagai bahan makanan. Awalnya
memang hanya untuk memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia yang ada disana. Namun
seiring berjalannya waktu tempe pun mulai diminati oleh penduduk domestik yang
tinggal disana. Lantas kenapa tempe digunakan untuk menggambarkan kondisi yang
sedemikian rendahnya. Apakah saya dan mayoritas penduduk bangsa ini akan
dianggap orang bermental tempe karena hampir tiap hari mengkonsumsi tempe.
Tentu analogi ini akan menjadi sangat ironis apabila tetap dilestarikan, oleh
karena itu saya akan coba mengenalkan anda kepada subtitusi dari istilah tempe
dalam menggambarkan kondisi-kondisi seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya
sebagai usaha penyelamatan tempe yang merupakan salah satu icon pangan
tradisional bangsa ini.
Sebelum
menuju istilah yang ingin saya kenalkan kepada anda, maka mari kita coba
berkenalan lebih dekat dengan makna dari mental tempe yang acapkali terdengar
di telinga kita. Mental tempe biasanya digunakan untuk menggambarkan sikap yang
senantiasa berusaha meninggalkan setiap masalah yang menimpanya tanpa diiringi
kreativitas dan keberanian lebih dalam proses pemecahannya. Selain itu, juga
menggambarkan seseorang yang hanya berfikiran sempit dan mengambil apa yang
tampak mudah tanpa berusaha mengusahakan hanya apa yang ia mampu tanpa ada
upaya melalui proses lain yang mampu meningkatkan kemampuannya. Apabila
dijabarkan lebih jauh lagi tentu masih panjang lagi deskripsi yang akan kita
buat, namun sampai disini dulu dan mari kita carikan analogi yang lebih sesuai.
Dalam
pemikiran pagi ini, saya menemukan bahwa istilah yang mungkin lebih cocok dalam
menggantikan kata tempe dalam penggambaran mental tersebut jatuh pada istilah
“copet”. Secara definitif copet merupakan suatu pekerjaan mengambil barang
orang lain seperti dompet, hp, jam tangan, perhiasan serta barang berharga
lainnya untuk selanjutnya dijual dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kesempitan pola pikir di dorong rendahnya kapasitas diri yang
diperkuat oleh tekanan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan menjadikannya
menghalalkan proses ini. Sealin itu, dalam usahanya “copet” yang mengalami
kegagalan dalam pekerjaanya akan hanya mampu berlari menghindari masalah yang
berbentuk kumpulan masa yang mengejarnya untuk menghadiahkan “bogem-bogem
mentah” kepadanya. Dari aspek ini saya kira analogi Mental copet ini memang
lebih pas untuk menggambarkan kerendahan mental seseorang dari pada istilah
mental tempe. Mungkin kalau di dengar sekilas istilah ini masih agak asing
karena ini adalah istilah baru yang baru saya kenalkan kepada diri saya dan
anda semuanya sebagai salah satu usaha saya untuk membersihkan nama baik
makanan warisan leluhur saya yang begitu saya cintai ini.
Semoga dengan
tulisan ini mampu membebaskan tempe ku dari belengku perendahan makna yang
selama ini membekapnya. Sudah saatnya kini engkau menjadi icon dan kebanggaan
bangsa ini meskipun bahan baku mu masih harus mengemis dari rumah paman Sam
yang jauh disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar